Berbuat Lebih

Sebagian dari kita di bulan Ramadhan ini melakukan banyak perubahan. Sholat malam, yang biasa jarang dilakukan, sekarang hampir tiap malam. Berjamaah pula. Tak mau hanya menegakkan sholat wajib sebagai syarat minimal, standar. Kita tambah dengan sholat sunnah. Membaca Kitab Suci Al Qur’an biasanya sak kober e alias kadang-kadang, pada bulan ini sebagian besar dari kita berusaha tilawah kapan saja dan di mana saja saat ada kesempatan. Ada yang membaca sambil menunggu penerbangan. Saat berada di perjalanan. Sebelum dan sesudah sholat. Kita melakukannya melebihi dari apa yang seharusnya. Kenapa mau? Saya yakin karena kita ingin mendapatkan balasan dari Allah SWT yang lebih juga. Asa itu ada.

Di beberapa ruas jalan, juga acapkali kita melihat banyak orang berjualan. Padahal di jalan tersebut pada hari selain Ramadhan, hanya terlihat 2-3 orang berjualan. Ramadhan memberi harapan bagi mereka. Mereka mau berbuat lebih, meluangkan waktu untuk mencari penghasilan tambahan. Rela bangun lebih pagi untuk mengolah makanan. Tak mengeluh meski harus pulang lebih larut hingga dagangannya ludes. Karena mereka yakin, ada harapan baik. Pendapatan keluarga yang lebih besar dari biasanya. Mereka punya peluang menyambut Lebaran dengan lebih meriah. Pulang kampung menenteng oleh-oleh. Membeli baju baru atau perabot rumah baru.

Sebagian besar dari kita dan mereka itu adalah kumpulan orang-orang melakukan “go the extra mile” . Pribadi-pribadi yang telah melakukan lebih dari apa yang diharapkan.

Rasulullaah SAW pernah memberi nasihat yang diriwayatkan oleh Thabrani:

“Sesungguhnya Allah SWT suka apabila salah seorang dari kalian melakukan suatu pekerjaan dia melakukan pekerjaan tersebut dengan sebaik mungkin.” (HR. Ath-Thabrani)

Melakukan pekerjaan sebaik mungkin saja disukai Allah SWT. Apalagi ketika kita berbuat lebih dari itu. Oleh karenanya tak mengherankan, ketika banyak orang yang bersusah payah, berlelah-lelah berbuat melebihi dari apa yang diminta kepadanya. Memberi melebihi dari apa yang menjadi syarat minimum.

Bagaimana dengan kita? Apa masih hanya berkutat dengan apa yang jadi syarat minimum? Cukup puas dengan yang standard saja? Apa justru mau berbuat lebih? Itu semua berpulang kepada kita. Namun, jelas sangat sayang ketika kita selalu berada dan berbuat yang standard saja. Mumpung masih ada waktu. Selagi energi masih berlebih. Berbuat lebih memang capek. Tapi yang jelas setiap kebaikan yang kita berikan, ada balasan yang setimpal. Bahkan berlebih.  Harapan ini yang membuncah. Kita yakin, Gusti Allah mboten sare.

Disukai lawan jenis saja sudah berbunga-bunga, mabuk kepayang. Apalagi disukai Allah, Zat yang Maha Agung sebagai pecipta kita, yang berlimpah cinta kasih sayangnya. Tak terbayangkan betapa tersanjung dan bahagianya.

Yuk . . jadi pribadi yang rela dan ikhlas melaksanakan “go the extra mile”. Berbuat lebih dari yang diharapkan. Ramadhan sebagai pemantiknya.

Wallaahu a’lam bish showab

Puasa dan Adaptasi

Pada beberapa hari ini, kita ‘dipaksa’ bangun lebih pagi. Kita punya rutinitas baru, makan sahur. Bagi sebagian dari kita, bisa jadi ini hal baru. Tapi uniknya, meski berat di awal, kita bisa menyesuaikannya. Tak jarang kita temui, apa yang kita alami, menjadi kebiasaan baru. Inilah salah satu keistimewaan yang diberikan Allah SWT kepada manusia, kemampuan adaptasi yang tinggi.

Puasa pun tidak menyurutkan kita melakukan aktivitas seperti biasanya. Salafus soleh, para pendahulu kita juga memberikan banyak teladan. Ada beberapa perang disiapkan dan terjadi saat bulan Ramadhan. Perang Khandaq atau sering juga disebut Perang Konfederasi. Saat koalisi Yahudi dan Quraisy mengepung Madinah, kota markas besar kaum muslimin. Musuh mungkin berpikiran, saat puasa, saat asupan energi berkurang, dan kondisi lemah merupakan saat yang tepat menyerang. Mereka salah total.

Salah satu strategi menahan serangan itu adalah pembuatan parit di sekeliling kota. Penggalian parit itu dilakukan saat bulan Ramadhan. Inovasi dan sebuah solusi gagasan Salman Al Farisi. Semua terlibat persiapan dan penggalian, tak terkecuali Rasulullah SAW. Atas upayak keras dan  pertolongan Allah, umat Islam memenangkan pertempuran.

Perang Badar, Pembebasan Kota Mekkah, Perang Ain Jalut di bawah komando Sultan Qutuz,  juga berlangsung saat kaum muslim sedang berpuasa. Kemerdekaan Indonesia juga diproklamasikan saat puasa ramadhan. Itulah beberapa peristiwa yang menorehkan tinta emas sejarah berlangsung pada Bulan Ramadhan. Itu bukan menjadikan semangat lemah. Memang asupan makanan dan minuman berbeda, bisa jadi berkurang, tetapi spirit tetap membara.

Bagaimana saat ini? Mari kita introspeksi diri. Memang tak layak, jika umat Islam  menurun produktivitasnya, saat Ramadhan. Nglemprek alias lemas letoi. Memang beda situasi dan kondisi yang jauh berbeda. Saat ini relatif lebih nyaman dibandingkan kondisi masa perjuangan penyebaran awal dakwah. Kalau dulu banyak keterbatasan dan bisa bahkan mencetak sejarah, maka masa kini harusnya bisa lebih. Peristiwa lampau bisa memberi tambahan semangat kepada kita, bahwa justru dalam keadaan berpuasa, umat Islam produktif dan mencetak sejarah.

Semua itu berawal dari diri kita sendiri. Karena kita yang menentukan pilihan. Kita diberikan sikap adaptif yang cepat. Harus kita manfaatkan optimal. Orang lain adalah pelengkap. Semoga kita termasuk orang yang menepati janji seperti yang termaktub dalam QS Al Ahzab ayat 23:

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).”

Semoga Ramadhan ini menjadikan kita insan adaptif. Dan pribadi-pribadi yang menjadi teladan bagi sekeliling. Insan yang kuat dan tangguh. Kita kuat, Islam kuat dan menjadi motor penggerak perubahan. Insya Allah, Indonesia Jaya.

Wallaahu’alam bish shawab

Ramadhan dan Hadiah

Ramadhan adalah bulan keberkahan bagi siapa pun tidak hanya umat Islam. Ini yang patut disyukuri. Kenapa demikian? Ada fenomena yang kita alami bersama. Kebanyakan dari kita, membelanjakan dananya lebih besar dari bulan lainnya. Ini jelas mempengaruhi rantai pasokan, supply chain. Demand besar maka supply akan mengikutinya. Pasar menggeliat. Produsen juga meningkatkan kapasitas produksinya. Salah satu tandanya, di beberapa sudut super market , toko grosir, atau toko kelontong ada persedaiaan yang terlihat lebih banyak dari biasanya. Tak ada batas apakah pelaku bisnis itu muslim atau bukan. Roda ekonomi bergerak lebih cepat dan membesar. Inilah kebekahan itu.

Tak ubahnya juga bisnis parcel, paket hadiah. Berbagai rupa hadiah juga bertebaran. Baik di jual secara daring maupun secara fisik. Salah satu pertanda bahwa memberi hadiah juga menjadi bagian dari tradisi. Ini juga memutar roda ekonomi. Sangat menggembirakan.

Namun, ada fenomena yang marak tapi patut diluruskan. Parahnya, terjadi di saat bulan Ramadhan. Kita melihat, hadiah justru bertebaran dari  pemasok alias vendor kepada pemberi kerja. Dengan dalih rasa terima kasih atas proyek yang telah diberikan. Pemberiannya ikhlas, tanpa ada paksaan. Penerima tidak pernah meminta, tapi dikirimi. Dan banyak lagi justifikasi lainnya. Lain lagi, ada hadiah dari bawahan atau subordinate kepada atasannya. Dengan alasan loyalitas atau dalih lainnya. Kalau atasan memberi kepada anggota timnya, itu baru wajar dan seharusnya.

“Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah azza wajalla telah pertanggungjawakan kepadaku. Lalu ia datang dan berkata “yang ini harta kalian (zakat yang disetor), sedangkan yang ini hadiah untukku”. Mengapa dia tidak duduk saja di rumah ibu bapaknya sambil menunggu apakah ada orang yang hendak mengantarkan hadiah kepadanya ataukah tidak.”

Jika disimak Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari tersebut sangat jelas bahwa seorang pegawai tidak boleh menerima hadiah atas tugas yang diamanahkan kepadanya.

Lain soal ketika hadiah itu dari sejawat, rekan sekolah, atau sanak saudara. Justru hal seperti ini bukti kasih sayang dan menambah kecintaan. Kita pun dianjurkan untuk membalasnya.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam biasa menerima hadiah dan biasa pula membalasnya” (HR Bukhari)

Apalagi ketika hadiah itu mengalir kepada para fakir, miskin, dan anak yatim. Kalau itu yang terjadi, patut dibudayakan. Alhasil usaha parcel akan semakin hidup dan membesar. Tak perlu khawatir kehilangan pasar bahkan gulung tikar.

Pada momen Ramadhan kali ini, izinkan saya mengajak sahabat untuk memulai hal yang benar. Tidak membuat dan mencari justifikasi hal kebiasaan yang tidak tepat agar menjadi benar. Berani menolak pemberian yang bukan hak kita. Saya yakin memulai dari diri kita sendiri adalah sesuatu yang besar dan berdampak. Terlebih ketika kita didapuk sebagai seorang leader. Tradisi hadiah pada bulan Ramadhan akan tetap ada dengan wujud berbeda.

Saya yakin ketika itu dimulai dan mengakar, maka membumikan tata nilai AKHLAK (amanah, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, kolaboratif), bukanlah hal yang sulit.

Wallaahu a’lam bish shawab.

 

 

Petugas Kebersihan NASA

Petugas Kebersihan NASA
by: Tim INALEAD
.
.
Pada tahun 1962, Presiden John F. Kennedy mengunjungi NASA.

Setahun sebelumnya, dia membuat pidatonya yang terkenal:

“Amerika Serikat akan menempatkan manusia di bulan pada akhir tahun 60-an”.

Dalam kunjungannya, ceritanya, dia bertemu dengan seorang petugas kebersihan.

Pria itu sedang menyapu lorong saat JFK mendekatinya.

“Hai, saya Jack Kennedy,” katanya kepada petugas kebersihan. “Apa yang sedang kamu lakukan?”

Petugas kebersihan menjawab:

“Pak Presiden, saya membantu menempatkan manusia di bulan.”

____

Kisah ini mungkin legenda, melebihi kebenaran. Terlepas dari itu, ia memiliki pelajaran yang kuat. Bagi petugas kebersihan, pekerjaannya sangat berarti. Dia tidak hanya menyapu debu. Dengan membersihkan lorong, dia:

• Menyediakan lingkungan kerja yang aman
• Mendukung para insinyur NASA
• Berkontribusi pada misi

Petugas kebersihan memiliki apa yang diinginkan begitu banyak orang. Dia memiliki tujuan.

*

Ada banyak alasan kita bekerja.
• Untuk mendapatkan uang
• Untuk menemukan kepuasan
• Untuk meningkatkan kehidupan kita

Setiap orang memiliki motivasinya masing-masing. Namun, kita menginginkan adanya rasa terarah, adanya tujuan (mulia). Kita semua ingin tahu bahwa waktu kita tidak terbuang sia-sia. Kita semua ingin percaya bahwa kita berbuat baik.

*

Bagaimana Anda menemukan tujuan dalam pekerjaan Anda? Ini ada pendekatan sederhana:

• Identifikasi SIAPA yang Anda layani
• Perjelas MENGAPA Anda melayani mereka
• Hubungkan BAGAIMANA pekerjaan Anda dapat memberikan kontribusi

Kemudian ingatkan diri Anda tentang hal itu setiap hari. Anda tidak hanya melakukan pekerjaan. Anda menempatkan seseorang di bulan, dalam versi Anda.

*
Saatnya bertanya…

“Apakah saya memiliki kejelasan tujuan dari peran/pekerjaan saya hari ini?”

Catatan : Terima kasih Tim INALEAD atas artikelnya. Semoga menjadi amal kebaikan ketika kiat ini menyebar luas.

Selalu Ada Solusi

Aku terbang melintasi awan
Mendarat mulus disambut senyuman
Orang bergantian menyampaikan masalah
Kita jalan bareng mencari celah
.
Diskusi mengawali sebuah keputusan
Rencana pun mulai dijalankan
Mengurai masalah dengan aksi
Ada hambatan itu pasti
.
Hidup itu sebenarnya gampang
Perjalanan memang penuh aral melintang
Beban bagi yang patah arang
Ditambah rasa takut yang kian meradang
.
Setiap masalah ada solusinya
Yang penting dikerjakan semampunya
Dorong dengan doa sekhusyuknya
Biarkan kuasa Tuhan selebihnya
.
Teruslah bersemangat.
Teruslah berdoa.
Teruslah berkarya.
@elnusakonstruksi
.
Salam 1T

Pertanyaan sebagai Tameng

Ada nasihat orang tua dan guru yang masih terpatri hingga kini.
.
Kata beliau, ajukan pertanyaan ini untuk dirimu sendiri saat kamu menerima hadiah dari orang lain sebagai tambahan dari imbalan jerih payahmu saat berkarya.
.
“Jika aku tidak di posisi saat ini, apa hadiah yang diberikan ini akan ada untukku?”
.
Saat jawabannya :

“Belum tentu”.

Maka hadiah itu patut ditolak. Apalagi jika jawaban dari pertanyaan itu:

“Tidak bakal”.

So, pemberian itu harus ditolak.
.
Pertanyaan semacam itu, salah satu filter untuk mencegah diri menerima gratifikasi, luxury hospitality, atau valuable gift lainnya.
.
Semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa memberikan petunjuk dalam setiap langkah kita.

Loyalitas, Apa atau Siapa?

Ketika seseorang memilih menjadi karyawan atau pekerja, maka harus menerima konsekuensinya. Salah satunya adalah tidak dapat memilih atasan atau pemimpinnya. Sedangkan yang sudah menjadi keharusan adalah ia harus membantu atasannya. Siapa pun dia yang ditetapkan menjadi atasan. Banyak nasihat dan pengalaman hidup menyatakan:

“Ada dua aturan saat jadi karyawan. Aturan pertama, buat atasanmu terlihat hebat dimata orang banyak. Sedangkan aturan kedua, pegang teguh aturan pertama”.

Dalam konteks perusahaan, bagaimana membantu atasan agar terlihat hebat di muka umum? Membantu atasan dengan memenuhi apa yang diharapkannya, itu sudah memadai. Apa saja itu? Ada beberapa hal yang penting. Menuntaskan pekerjaan dengan tepat (kualitas dan waktu). Tidak ada tugas yang terbengkalai. Assignment mangkrak atau tidak dikerjakan, tidak ada dalam kamus karyawan. Selanjutnya, sebagai karyawan yang memberi solusi. Jadi pekerja yang solutif. Hadir dan memberi masukan dan menyodorkan solusi atas masalah yang ada. Karyawan juga harus punya komitmen. Apa yang telah disepakati dikerjakan. Ada satu hal yang penting, loyal atau punya loyalitas. Sebagai pekerja bersedia berkorban energi, waktu, dan pikiran di luar jam kerja. Patuh dan setia.

Nha ini, loyalitas itu apa? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) :

loyalitas/lo·ya·li·tas/ n kepatuhan; kesetiaan

Loyalitas kepada atasan itu apa artinya mengerjakan semua perintah atasan? Sebentar. Tentu perintah tersebut perlu dipilah terlebih dulu. Sebagai anggota tim harus menjalankan perintah yang sesuai peraturan baik hukum atau perusahaan, norma, etika dan tentu saja agama yang diyakini. Kok agama dibawa-bawa? Ehm . .tentu saja, karena kita yakin adanya kehidupan yang abadi setelah kehidupan di dunia ini. Ada Zat yang Maha Pengatur dan Maha Kuasa yang memberikan guidance kepada hambaNYA agar selamat di dunia dan akhirat.

Susahnya kalau pimpinan memberi perintah yang tidak sesuai peraturan atau norma. Bagaimana sikap kita. Sebagai anggota tim, bisa menolak. Tentunya dengan cara yang baik. Sebaiknya disampaikan empat mata. Kita memberikan masukan atau penolakan berdasarkan knowledge based dan juga hal lain yang terkait. Kalau sudah demikian dan tetap saja kita dipaksa menjalankannya. Waduh. Ini yang berat, pasti ada konsekuensinya. Risiko yang dihadapi pekerja bisa dipinggirkan, dimutasi, atau diberhentikan. Bisa dipecat. Khawatir atau risau itu pasti. Lha, gimana nggak risau? Dipecat artinya bisa menganggur.  Penghasilan bisa mandeg. Roda ekonomi bisa berantakan. Tidak salah punya pikiran begitu. Ini yang sering ditakuti. Namun, rasa takut itu jangan sampai melebihi logika dan keyakinan kita. Justru ini yang jauh lebih berbahaya.

Semua rezeki itu dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih. Rezeki kita sudah dijamin. Coba kita perhatikan, seekor cicak. Ia binatang yang diciptakan merayap. Sedangkan makanan utamanya, serangga seperti nyamuk. Nyamuk hidupnya di udara alias terbang. Menarik bukan, cicak yang merayap di tembok, makananya terbang alias di udara. Berapa cicak mati karena kurang makan? Pernah melihat cicak mati kelaparan? Kayaknya jarang, bukan? Kebanyakan cicak mati karena diplinteng alias diketapel orang. Cicak diburu orang untuk dikeringkan dan dijadikan bahan obat. Itulah kuasa Allah SWT. Rezeki mahluk ciptaan Tuhan itu sudah ditetapkan. Tak ubahnya kita, manusia. Jadi tak perlu khawatir. Kalaulh misalnya, dipecat (naudzubillahi mindzalik), yakinlah ada tempat lain yang baik. Itu ada syarat dan kondisi. Selama kita bergerak, berkarya, rezeki itu ada. Mohon izin saya membagi nasihat orang tua di sini:

“Ora obah, ora mamah. Tidak bergerak (alias bekerja/berkarya), tidak bisa memperoleh penghasilan/tidak makan.”

So, kita harus yakin atas ketetapan rezeki. Atasan kita adalah salah satu perantara rezeki. Keyakinan atas iman kita yang harus melekat dan meninggi dihati dam implementasi. Sehingga loyalitas itu dipahami sebagai kesetiaan kepada profesi dan pekerjaan. Loyal kepada atasan sesuai peraturan dan norma. Karena profesi itu bisa bersifat konstan. Atasan bisa silih berganti sesuai masanya. Kepatuhan atau kesetiaan seperti ini yang seharusnya dijaga, melekat dalam diri kita.

Memang benar kata orang bijak:

“Without loyalty, you won’t accomplish anything.”

Tapi, mari kita memosisikan loyalitas pada tempat yang tepat, agar selamat di dunia dan di akhirat.

Mau?