Garis Kebenaran Kita
Oleh : Tri Astoto Kurniawan, ST., MT., Ph.D *)
Suatu ketika, sebuah usulan cerdas mengemuka dari seseorang dalam sebuah rapat penting nan genting, ” Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu ketika kami di negeri Persia, apabila kami dikepung (musuh), maka kami membuat parit di sekitar kami”. Rasulullah kemudian dengan kecerdasan (emosional dan intelektual) nya menyetujui usulan itu untuk segera dilaksanakan oleh kaum muslimin di Madinah. Dialog itu terjadi sekira bulan Syawal tahun kelima Hijriyah, sebagai persiapan umat Islam di Madinah yang mendengar akan datangnya serbuan dari pasukan sekutu gabungan dari kaum kafir Quraisy Mekah dan Yahudi Bani Nadhir. Selama beberapa hari, Rasulullah SAW bahu membahu dengan umat Islam lainnya menggali parit untuk membentengi Madinah. Pada saatnya tiba, pasukan sekutu datang dengan jumlah 10 ribu orang, jauh lebih besar dibandingkan dengan pasukan kaum muslimin yang hanya berkekuatan 3 ribu orang. Karena terhalang parit yang cukup lebar dan dalam, pasukan sekutu tidak mampu memasuki Madinah dan hanya bisa berputar-putar di seberang parit selama beberapa hari. Pada akhirnya, dengan ijin Allah SWT, strategi parit itu benar-benar jitu, sebuah strategi perang yang belum pernah dikenal di antero jazirah Arab ketika itu. Pasukan sekutu harus balik badan kembali ke Mekah dengan penuh keputusasaan dan kegagalan total, tanpa bisa memasuki Madinah. Sejarah kemudian mencatatnya sebagai Perang Khandaq (Parit) atau Perang Ahzab. Seseorang yang punya ide brilian itu adalah Salman al-Farisiy, seorang nan cerdas yang harus menempuh perjalanan ribuan kilometer dengan kisah berliku dari tanah kelahirannya di Kota Isfahan, Persia menuju Madinah dengan satu tujuan untuk mendapatkan kebenaran Islam.
Sahabat…, sebagai pribadi yang maksum (dijaga dari kesalahan) dan pribadi yang senantiasa dibimbing wahyu Allah SWT, sebetulnya Rasulullah SAW bisa saja menggunakan otoritasnya untuk memutuskan strategi apa yang harus diambil ketika itu. Dan, para sahabat tentu akan serta merta menjalankannya sebagai wujud ketaatan mereka, terlebih lagi dalam kondisi segenting itu. Namun, penggalan kisah itu ingin mengajarkan kepada kita bahwa Rasulullah SAW memberikan ruang diskusi dan menerima pendapat dari perspektif atau paradigma lain, sebuah strategi perang yang tidak biasa dilakukan di jazirah Arab ketika itu. Sungguh, sebuah teladan yang sangat mulia dari pribadi agung, yang keagungan akhlaknya diabadikan di dalam Al Quran.
Sahabat…, dalam hidup ini, masing2 kita memasang garis kebenaran (meminjam istilah yang digunakan dalam Kajian Magnet Rezeki – Ustadz Nasrullah) nya sendiri; ada yang tinggi, sedang, ataupun rendah. Semakin tinggi garis kebenaran kita maka semakin kecil peluang kita untuk mampu menerima kebenaran dari orang lain dengan perspektif yang berbeda dan semakin mudah kita menganggap orang lain tidak benar. Begitulah, kita bisa memahami berbagai konflik yang terjadi di antara manusia atau kelompok manusia ketika garis kebenaran yang dipasang sama-sama tinggi. Begitu pun dalam keluarga, jika sang suami dan sang istri masing-masing memasang garis kebenaran yang tinggi maka bisa dipastikan keluarga tersebut akan banyak diwarnai dengan konflik dalam perbedaan pendapat, baik terbuka ataupun tidak, yang tidak berkesudahan. Hal yang sama bisa terjadi antara orang tua dengan anak, pimpinan dengan bawahan, dan seterusnya. Rasulullah SAW, pribadi yang kemaksumannya tidak bisa dibantah, telah memberikan teladan dengan menurunkan garis kebenarannya sehingga memungkinkan masuknya pendapat atau paradigma lain (dari orang biasa), dan selanjutnya beliau menerimanya. Dengan menurunkan garis kebenaran, kita akan mampu berpikir alternatif dan tidak monolitik, bisa jadi pandangan orang lain jauh lebih benar daripada apa yang kita yakini, sehingga pintu dialog bisa terbuka dan solusi terbaik bisa diambil.
Sahabat…, saat ini kita bersama sedang menghadapi situasi genting dengan adanya pandemi yang berlangsung secara global. Setiap bangsa mengalami ancaman yang sama meskipun dengan derajat yang berbeda yang mengakibatkan beragam aktivitas kehidupan tidak bisa dijalankan normal sebagaimana biasanya. Pandemi ini sudah berlangsung lebih dari 1,5 tahun dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, terlebih lagi kita dibayangi dengan fenomena mutasi virus penyebab pandemi ini, dimana para ahli pun tidak mampu memprediksinya. Sudah tidak terbilang, berapa dana yang telah dihabiskan untuk keperluan mitigasi selama ini, sebagaimana tidak terhitung pula berapa jiwa yang tidak bisa terselamatkan. Angka statistik korban meninggal yang terkonfirmasi positif tidak semestinya kita baca hanya sebatas deretan angka naik atau turun, karena setiap angka itu adalah nyawa manusia yang sangat berharga. Setiap angka itu harus kita pandang sebagai jiwa yang harus dilindungi karena mereka adalah makhluk Allah SWT, tanpa memandang keyakinan, jenis kelamin, strata sosial, strata pendidikan, suku dan bangsanya.
Sahabat…, dunia sedang menghadapi sebuah makhluk super kecil dan tidak kasat mata, tetapi dengan ijin Allah SWT mampu menyebabkan fatalitas yang luar biasa, sehingga kita semua dibuat kalang kabut karenanya. Boleh jadi, kita sangat yakin dengan strategi mitigasi yang selama ini kita lakukan, karena strategi yang sama diterapkan secara global terutama di negara2 maju, meskipun pada saat yang sama korban masih berjatuhan. Beberapa bulan terakhir ini, mata kita dibuka untuk bisa melihat fakta betapa fasilitas kesehatan (faskes) yang ada, berikut sarana penunjangnya (obat-obatan, vitamin, ventilator, dll.), tidak mampu merespon secara proporsional eskalasi kasus yang peningkatannya luar biasa. Situasi itu menjadikan faskes dan sarana penunjangnya menjadi sumber daya kritis, dimana tidak setiap orang (yang terpapar) bisa mengaksesnya. Jika demikian halnya, kita bisa saksikan sendiri ‘hukum alam’ berlaku sehingga memunculkan sifat dasar manusia, siapa yang kuat (kekuasaan, ekonomi, jaringan) maka dialah yang bisa mengaksesnya. Dampaknya, setiap kita akhirnya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya, yang penting bagaimana diri dan kelompoknya bisa ‘aman’, tidak peduli dengan orang/kelompok lain, berapapun harga yang harus dibayar. Sungguh situasi yang sangat mengerikan, di tengah tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung. Situasi ini semakin tidak menguntungkan akibat terjadinya panic buying sehingga seseorang (dan kelompoknya) membeli sesuatu melebihi keperluannya yang berakibat ketersediaan stok semakin terbatas, ditambah lagi dengan terganggunya rantai pasokan ( supply chain management) selama pandemi berlangsung. Lalu, apakah tidak sempat terlintas dalam pikiran kita bagaimana nasib saudara2 kita yang terpapar namun tidak memiliki ‘kekuatan’ sebagaimana yang kita miliki? Apakah mereka tidak kita anggap sebagai manusia, makhluk Allah SWT, yang jiwanya patut mendapatkan perlindungan juga? Apa yang akan kita jawab di yaumul hisab nanti ketika Allah SWT menanyakan bagaimana kita bisa ‘aman’ saat pandemi terjadi?
Sahabat…, di tengah ketidakpastian pandemi ini, ada baiknya kita mencoba rehat sejenak. Mari, kita mencoba menurunkan garis kebenaran kita agar ada ruang kebenaran atau paradigma lain bisa masuk untuk dikaji lebih dalam guna mencari strategi yang lebih baik yang bisa berlaku untuk setiap orang, karena dalam kenyataannya virus ini akan menyasar siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Sebagai orang yang beriman, kita menurunkan garis kebenaran kita agar kebenaran Allah SWT bisa masuk.
Pertama, Maha Benar Allah SWT yang telah menyatakan dalam Al Quran bahwa manusia itu diciptakan dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, baik dari sisi tampilan fisik maupun sistem yang bekerja di dalamnya.
Kedua, Maha Suci Allah SWT, DIA yang tidak akan pernah berlaku tidak adil kepada hamba-NYA, baik mereka beriman atau tidak.
Minimal dua kebenaran itulah yang perlu kita renungkan bersama sebagai dasar keimanan kita dalam berselancar di tengah ombak pandemi ini. Keimanan yang mendorong terjadinya eksplorasi keilmuan yang bisa dijelaskan secara rasional sehingga strategi yang dirumuskan akan sejalan dengan kehendak-Nya. Bukan keimanan yang berdiri di satu sisi, sementara keilmuan di sisi yang lain. Karena pada hakekatnya, pandemi dan segala sesuatu yang menyertainya saat ini pasti berada dalam pengetahuan dan kehendak-Nya yang itu diharapkan bisa menjadi instrumen peringatan kepada kita untuk kembali mengagungkan-Nya di dalam setiap langkah kehidupan kita selanjutnya. Semoga pemahaman yang baik terhadap kondisi dan sistem yang bekerja dalam tubuh kita, virus penyebab pandemi ini, dan medan amal kita akan mengantarkan kita pada tatanan kehidupan baru (new life order) yang lebih sesuai dengan kehendak-Nya. Aamiin YRA.
.
*) Tri Astoto Kurniawan adalah dosen di Universitas Brawijaya. Menempuh pendidikan S1 di Teknik Elektro UB, S2 Rekayasa Perangkat Lunak di ITB dan S3 Software Engineering di University of Wollongong. Australia. Pernah sebagai Software Engineer PT. Dirgantara Indonesia.