Kampung Penuh Warna

Saya menghabiskan masa kecil di Dukuh Guyangan. Dahulu daerah ini masuk Kabupaten Malang. Setelah pemekaran Kota Malang, area itu menjadi salah satu wilayah yang masuk Kota Malang. Salah satu tandon air (baca : tempat penyimpanan dan pendistrbusian air minum) ada di wilayah ini.

Daerah ini unik. Area yang penuh prestasi. Ketika kompetisi olah raga, acapkali menggondol juara. Beruntung juga beberapa warga kami juga seorang seniman. Ketika karnaval tujuh belasan pun (baca : istilah kami ketika melakukan arak-arakan budaya memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan), kampung kami juara se kecamatan.

Kami juga punya musholla dekat sungai Bunut. Air wudlunya berasal dari mata air. Tempat sumber air itu juga tempat mengambil air untuk keperluan sehari-hari dan juga tempat mandi, mencuci dan buang hajat. Saya ingat betul, kamar mandi masih belum menjadi kebutuhan utama. Jika pagi terlihat orang berjajar mencuci sekaligus mandi.

Kampung itu juga tersohor atas suatu yang tidak baik. Saat ramadhan tiba, justru ketenaran itu menggaung seantero Malang. Entah kenapa, tanpa komando setiap bulan puasa menjadi ramai orang dari berbagai penjuru. Walhasil, tempat kami bermain bektor (baca : batu digulingkan dengan menabrakkan dengan batu lain yang ditempatkan di punggung kaki sembari melangkah kecil). Kadang juga tempat bermain bentengan (baca : perebutan tempat dengan saling berlari mengejar). Area bermain kami berubah menjadi tempat parkir. Bahkan sebagian juga sebagai tempat menunggu giliran, waiting booth.

“Dolanan (baca : permainan) ini untuk nyelimurkan (baca : mengalihkan perhatian) puasa. Jadi nggak terasa lapar dan haus”, kata para pendatang itu mencoba memberikan alasan.

Permainan itu mempertaruhkan sejumlah uang. Itu yang saya rasa menjadi daya tarik. Kadang ada orang membawa motor ketika datang. Tapi, tak jarang berjalan kaki, ketika pulang. Uang dikantongnya, termasuk hasil jualan motornya pun, ludes. Orang dewasa menyebut permainan itu : ‘pantatan’. Kami yang masih seusia es de, kadang hanya menonton. Ada juga tetap bermain walau dengan area yang lebih sempit. Namun, tidak sedikit yang membuat permainan serupa dengan skala lebih kecil.

Pantatan ? Unik bukan namanya. Nampak seperti nama salah satu organ tubuh kita. Cara bermainnya dengan melemparkan 2 keping mata uang kuno. Satu sisi buruk rupa. Sisi lainnya dibuat mengkilap. Koin itu ditangkupkan dengan tanah yang agak basah sebagai perekat. Ia di lempar melambung agar punya energi ketika jatuh ke tanah. Koin nya pun terbuka dan berpencar. Bagaimana menentukan pemenang. Jika dua sisi mengkilap yang terbuka, maka ia menang. Ia bisa mengambil taruhan di sebelahnya. Namun, jika dua mata uang menunjukkan buruk rupa maka ia harus membayar sejumlah uang. Kalau satu sisi buruk dan satu sisi mengkilap, maka seri. Si pelempar harus menyerahkan gilirannya kepada pemain sebelahnya. Itu semua dilakukan melingkar sekira 15-20 orang sembari berjongkok, melingkar. Ada yang duduk pakai dingklik (baca : kursi kecil). Beberapa ada yang pakai sandalnya sebagai alas duduk. Tapi supernya, banyak yang bertahan dengan berjongkok sampai 2-3 jam permainan itu usai. Pantaslah kalau disebut pantatan, bukan ?

Bapak saya ketika itu dipilih oleh Pak Kades (kepala desa) menjadi Ketua RW (Rukun Warga, informal leader yang membawahi sekitar 5 RT atau setara dengan 250-300KK). Beliau menggolongkan permainan itu masuk kategori judi. Beliau terus mencari akal bagaimana menghapuskan permainan yang sudah menjadi tradisi itu. Bapak juga beberapa kali melakukan semacam sidak. Tapi, sering tidak menemukan apa-apa. Mereka seakan punya intel. Saya pun pas bermain bentengan, sering mendengar :

“Ono Pak Ju… ono Pak Ju !”, begitu ujar orang semacam pesan berantai.

Pak Ju adalah nama panggilan Bapak saya. Pesan itu semacam kode agar mereka bubar. Ada yang masuk warung makan. Sembunyi di kamar. Atau berpura-pura bertamu. Tak jarang juga ada yang lari ke arah kebun ganyong (tumbuhan seperti bunga kana, namun umbinya terasa manis). atau bersembunyi di rumpun bambu pembatas dengan kampung sebelah.

Pernah suatu ketika digerebek dan dikepung sepeleton polisi dibantu Brimob. Agak mencekam situasinya. Ada sekira setruk orang dewasa dan remaja yang dibawa ke kantor polsek terdekat. Beberapa bahkan sempat diinapkan di kantor polisi sector. Tapi, 3-4 hari setelahnya, kambuh. Lagi-lagi, tanpa ada komando, sudah ada pantatan lagi. Kejadian itu berlangsung selama beberapa tahun.

Beliau melakukan 3 hal langkah terobosan untuk menyudahi kebiasaan itu. Pendekatan kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat. Pengaktifan kegiatan olah raga dan seni. Pembinaan anak muda.

Beliau menemui beberapa tokoh informal agar tradisi itu bisa ditekan. Bapak menginginkan keamanan dan kenyamanan tetap terjaga. Tidak jarang pertemuan diadakan dirumah dengan suguhan khas roti kukus (baca : bolu kukus) buatan ibu saya. Para tokoh masyarakat bahu membahu melakukan pendekatan kepada pelaku dan juga rumah atau area yang dijadikan tempat main pantatan. Door to door approach. Tidak gampang memang, karena bagaimana pun pantatan menjadi salah satu tumpuan ekonomi. Warung lebih banyak pembeli. Penjual rokok dan lainnya juga naik omzetnya. Pemilik rumah dan tanah mendapatkan uang tek (baca : sewa).

Kegiatan olah raga utamanya bola volley dan sepak bola digalakkan. Setidaknya anak muda juga mulai dipecah tempat berkumpulnya. Setiap sore penggiat bola volley berkumpul di lapangan milik SD Negeri Tlogomas. Pemain sepakbola bersepeda atau naik angkot ke lapangan Sengkaling, sekira 5 Km jauhnya. Kegiatan Samroh (baca : vokal group, 10-15 orang, yang menyanyikan lagu-lagu bernafaskan agama Islam) digalakkan. Tempatnya pun bergiliran di rumah anggota. Kakak perempuan saya salah satu aktivis samroh ini.

Bapak juga membina anak muda. Harapannya ketika dewasa, mereka tidak meneruskan tradisi itu. Pendekatan keagamaan juga dilakukan secara terus menerus dengan bantuan pembina musholla dan juga pembina masjid jamik Nurul Huda. Kegiatan turutan (metoda cara belajar baca Al Qur’an) juga marak. Karang taruna juga dihidupkan. Belum lagi kegiatan anak-anak purnawirawan TNI dan Polri juga digalakkan. Mereka punya komunitas masing-masing, alhamdulillaah kegiatannya pun positif.

Harapan itu bukan pepesan kosong. Menjelang maghrib orang berbondong menuju musholla, lebih didominasi anak muda. Kami biasanya menunggu takjil yang berlimpah. Buka puasa menjadi sangat meriah. Setelah pulang dari musholla, sebagian besar menuju warung. Menu yang paling disukai kampung itu ada rujak legi (baca : rujak buah). Makan rujak sembari menunggu Tarawih. Ada 2 warung yang rutin menyediakan menu itu. Hiruk pikuk pemain pantatan, masih ada. Tidak sebanyak biasanya.

Sekira tahun 1986, kami sekeluarga berpindah rumah. Tak jauh memang, namun berbeda wilayah walau masih satu desa. Bapak ketika itu sudah tidak menjabat Ketua RW. Beliau mendapat kepercayaan sebagai Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD).

Tahun 1990-an, awal masa-masa kuliah, saya beberapa kali berkunjung ke kawasan Guyangan. Alhamdulillaah, pantatan sudah tidak ada lagi. Generasi mudanya nampaknya tidak ingin meneruskan tradisi itu. Kuncinya, beberapa tokoh muda meminta ijin menggunakan sebagian tanah milik salah satu petani kaya di situ. Mereka membangun musholla. Salah satu pusat kegiatan baru. Pantatan pun tidak laku. Kampung itu memang penuh warna. Insya Allah hingga kini masih penuh warna.

Saya terinspirasi atas upaya itu. Nampak sulit awalnya. Ketika perubahan dimulai, hasil bisa jadi belum nampak saat itu. Jika secara konsisten dilakukan, justru perubahan besar yang didapat.

Silahkan share jika bermanfaat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen − 2 =