Beberapa hari ini pemandangan menggembirakan disuguhkan di Masjid Ar-Ridho, masjid dekat rumah. Jamaah sholat subuhnya bisa mencapai 10 shaf. Jika dihitung cepat, dengan kapasitas per shafnya rerata 22 orang, maka setidaknya ada sekira 220 orang. Ruang utama masjid terlihat penuh. Menggembirakan ? Tentu saja. Jamaah yang membludak, utamanya sholat subuh, adalah salah satu indikator kemakmuran masjid. Di samping itu adanya kegiatan tambahan menjadi daya dukungnya. Terlebih, pada hari biasa masih pada kisaran 3-4 shaf atau setara 50-80 orang.
“Rame gini, karena Ramadhan aja, Mas. Orang berlomba mendapatkan keberkahan”, begitu komentar seorang kawan.
Tidak apa-apa juga. Alhamdulillaah ada bulan yang diberikan kekhususan seperti Ramadhan ini. Fenomena yang tentunya harus dijaga. Momentum yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Saya mencoba membuat analisis kecil tentang makmurnya masjid, utamanya disaat fajar tiba. Kenapa saat bulan puasa lebih banyak daripada hari biasa. Padahal perputaran waktu sholat tidak banyak berubah.
Saat syahru shiyam, umat muslim dikondisikan suatu momen yang disebut makan sahur. Sangat disarankan juga, mengakhirkan makan sahur. Rentang waktu dari makan sahur dengan adzan subuh setidaknya ada 10-15 menit. Tidak terlalu lama menunggu, bisa langsung ke masjid atau surau. Setelah sholat, diisi dengan kegiatan tambahan. Ada kuliah subuh dengan durasi sekira 10 menit. Belum lagi ditambah kegiatan mandiri, tilawah Al Qur’an. Biasanya setelah pukul 6 pagi, jamaah beranjak pulang, bersiap beraktivitas. Bagi orang kantoran seperti saya, persiapan dilakukan lebih pagi. Maklum, ada aturan masuk lebih pagi, pulang lebih awal dari jam kerja normal.
Dengan metoda seperti itu, ternyata beberapa orang yang saya sampling, kebanyakan melaksanakan sholat subuh berjamaah. Kenapa ? Mereka melakukan karena efisien dan efektinya waktu. Bangun pagi, mandi, sholat dan persiapan ke kantor rentang waktunya relatif pendek. Jika terlambat bangun, akibatnya adalah terlambat masuk kantor.
Saya jadi berpikir seolah-olah pejabat pemegang kebijakan, dibuat aturan saja, masuk kerja pukul 06.30 atau setelat-telatnya pukul 07.00 WIB. Maksudnya adalah rentang waktu dari jam subuh ke waktu jam kerja, dibuat pendek, hanya sekira 2 jam. Sehingga, kondisi itu memaksa orang bangun lebih pagi, harapannya, bagi yang muslim, menunaikan sholat dengan berjamaah di masjid, sebagai awal aktivitas. Kelebihannya lagi, pulang bisa lebih awal, sehingga pas maghrib bisa bertemu dan mengajak keluarga sholat berjamaah. Bagaimana dengan pekerja yang non-muslim, insya Allah bermanfaat juga. Setidaknya saat sore hari waktu dengan keluarga menjadi lebih banyak.
Motif berbeda? Bukankah orang bangun pagi karena terpicu agar tidak terlambat masuk kerja bukan megejar sholat subuh berjamaahnya?
Tidak apa-apa juga punya motif itu, daripada tidak, bukan ? Saya hanya khawatir, semakin hari shaf di masjid itu semakin maju. Maju yang menandakan shaf semakin sedikit. Ini kan semacam kemunduran dari dampak bulan puasa, syahru shiam. Bulan yang diibaratkan kawah candra dimuka untuk perbaikan kehidupan, perbaikan akhlak, peningkatan pemahaman agama dan beragama. Itu sama halnya maju yang mundur. Saya yakin anda pun yang beragama Islam, tidak ingin itu terjadi.
Saudaraku seiman, ayo shalat berjamaah, supaya terhindar dari kemajuan yang membawa kemunduran.