Saya punya sahabat petani apel di lereng Gunung Arjuno. Di samping itu, dia juga punya kebun bunga mawar. Kebun bunga ini bisa dipanen tiap hari. Mawar yang mencukupi kebutuhan harian. Ia ambil kuliah di jurusan yang sama dengan saya, Teknik Mesin. Profesi tani adalah profesi turun temurun dari leluhurnya. Kenapa kok nggak kuliah di Jurusan Pertanian saja? Ternyata alasannya sederhana, supaya bisa menciptakan alat yang mempermudah pekerjaannya. Visioner.
Saya teringat dialog beberapa tahun lalu.
“Mas, pas panen raya apel seperti ini, kadang aku sedih dan gondhok (baca: marah banget)”, tuturnya dengan tatapan kosong, saat saya main di rumahnya.
“Lho, bukannya senang? Kan panen, hasilnya dipetik dan sudah ada tengkulak yang menunggu?”, saya pun agak heran. Pikiran sederhana saya. Saat yang ditunggu tiba. Kayak menunggu kekasih yang lama nggak ketemu. Jie.. jie… Lha, pas panen banyak pembeli yang menunggu di kebun. Tidak perlu repot cari angkutan dan jual ke pasar. Uenaak tho?
“Harga ternyata jatuh. Murah banget. Kalau menunggu harga baik, takut apelnya nggak segar dan busuk. Kadang hasil jualan, ya impas kalau dihitung dengan biaya yang sudah dikeluarkan. Malah tekor tenaga. Capeknya nggak kebayar”, dia menjawab dengan datar. Tergambar kegalauan di wajahnya.
Kala itu dia belum punya solusi. Apel pun terpaksa dijual dengan harga yang bukan idamannya. Terpaksa. Sungguh terlalu.
Cambuk yang menyakitkan. Tapi lebih dari cukup untuk ia melakukan inovasi dan bangkit.
Apakah ada yang mengalami seperti sahabat saya? Ya, ini memang masalah klasik. Apalagi terjadi pada produk yang keunikan dan harganya ditentukan oleh freshness alias kesegarannya. Bisa masalah, saat produk berlimpah, tapi permintaan sama saja. Maka terjadi supply lebih besar dari demand, harga turun. Bahkan boleh dibilang jatuh. Saya yakin kita semua tidak ingin itu terjadi. Harus ada pembeda, supaya harga sesuai harapan. Harga baik, bisnis bertahan. Bagaimana caranya?
Balik lagi ke Buah Khas Kota Malang itu. Inovasi banyak dilakukan. Saat ini kita bisa melihat sudah ada Sari Apel. Minuman dalam kemasan yang berisi sirup dari apel. Jenang atau dodol apel. Ada juga kripik apel.
Buah Apel jadi kripik apel? Memang mereka harus menambah proses. Biasanya setelah dipetik, dipilah dan dijual. Sekarang ada tambahan proses. Kripik apel misalnya. Ada proses membuat apel jadi kepingan tipis. Diiris pakai mesin, awalnya juga diiris manual pakai pisau dapur. Setelah itu digoreng. Proses jadi kripik dulunya pakai penggorengan biasa. Berkembang hingga menggunakan vacuum frying. Penggorengan yang ditambah alat semacam kedap udara. Titik didih bisa diturunkan, hasilnya gorengan lebih seragam, krispi dan rasa tidak banyak berubah. Plus jarang terjadi overfried alias gosong. Alatnya sudah pakai timer. Kemasan? awalnya plastik biasa. Berkembang dengan kemasan yang menggunakan alumunium foil. Masa kadaluwarsa juga bertambah panjang. Dari 6 bulan menjadi 1 tahun. Bayangkan jika dibandingkan buah segar. Bagaimana dengan nilai jualnya ? Ternyata bisa naik 3-4 kali lipat dari buah segar dengan berat setara.
Proses bisnis yang diperpanjang memang akan menambah waktu dan menambah biaya. Tapi secara total nilai produk bisa bertambah besar. Baik dampak pada produk langsung maupun tidak langsung.
Ini yang namanya, nambah proses, nambah untung.
Nah.. mau nilai produknya naik? Bagaimana menemukan ide seperti itu?
Mari bergabung pada event “Mau Bisnis Tetap Eksis?” dengan klik: http://bit.ly/bisnistangguh
Semoga bermanfaat. Sampai jumpa.