Ramadhan adalah bulan keberkahan bagi siapa pun tidak hanya umat Islam. Ini yang patut disyukuri. Kenapa demikian? Ada fenomena yang kita alami bersama. Kebanyakan dari kita, membelanjakan dananya lebih besar dari bulan lainnya. Ini jelas mempengaruhi rantai pasokan, supply chain. Demand besar maka supply akan mengikutinya. Pasar menggeliat. Produsen juga meningkatkan kapasitas produksinya. Salah satu tandanya, di beberapa sudut super market , toko grosir, atau toko kelontong ada persedaiaan yang terlihat lebih banyak dari biasanya. Tak ada batas apakah pelaku bisnis itu muslim atau bukan. Roda ekonomi bergerak lebih cepat dan membesar. Inilah kebekahan itu.
Tak ubahnya juga bisnis parcel, paket hadiah. Berbagai rupa hadiah juga bertebaran. Baik di jual secara daring maupun secara fisik. Salah satu pertanda bahwa memberi hadiah juga menjadi bagian dari tradisi. Ini juga memutar roda ekonomi. Sangat menggembirakan.
Namun, ada fenomena yang marak tapi patut diluruskan. Parahnya, terjadi di saat bulan Ramadhan. Kita melihat, hadiah justru bertebaran dari pemasok alias vendor kepada pemberi kerja. Dengan dalih rasa terima kasih atas proyek yang telah diberikan. Pemberiannya ikhlas, tanpa ada paksaan. Penerima tidak pernah meminta, tapi dikirimi. Dan banyak lagi justifikasi lainnya. Lain lagi, ada hadiah dari bawahan atau subordinate kepada atasannya. Dengan alasan loyalitas atau dalih lainnya. Kalau atasan memberi kepada anggota timnya, itu baru wajar dan seharusnya.
“Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah azza wajalla telah pertanggungjawakan kepadaku. Lalu ia datang dan berkata “yang ini harta kalian (zakat yang disetor), sedangkan yang ini hadiah untukku”. Mengapa dia tidak duduk saja di rumah ibu bapaknya sambil menunggu apakah ada orang yang hendak mengantarkan hadiah kepadanya ataukah tidak.”
Jika disimak Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari tersebut sangat jelas bahwa seorang pegawai tidak boleh menerima hadiah atas tugas yang diamanahkan kepadanya.
Lain soal ketika hadiah itu dari sejawat, rekan sekolah, atau sanak saudara. Justru hal seperti ini bukti kasih sayang dan menambah kecintaan. Kita pun dianjurkan untuk membalasnya.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam biasa menerima hadiah dan biasa pula membalasnya” (HR Bukhari)
Apalagi ketika hadiah itu mengalir kepada para fakir, miskin, dan anak yatim. Kalau itu yang terjadi, patut dibudayakan. Alhasil usaha parcel akan semakin hidup dan membesar. Tak perlu khawatir kehilangan pasar bahkan gulung tikar.
Pada momen Ramadhan kali ini, izinkan saya mengajak sahabat untuk memulai hal yang benar. Tidak membuat dan mencari justifikasi hal kebiasaan yang tidak tepat agar menjadi benar. Berani menolak pemberian yang bukan hak kita. Saya yakin memulai dari diri kita sendiri adalah sesuatu yang besar dan berdampak. Terlebih ketika kita didapuk sebagai seorang leader. Tradisi hadiah pada bulan Ramadhan akan tetap ada dengan wujud berbeda.
Saya yakin ketika itu dimulai dan mengakar, maka membumikan tata nilai AKHLAK (amanah, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, kolaboratif), bukanlah hal yang sulit.
Wallaahu a’lam bish shawab.