Bahagia Itu Sederhana
Oleh : Hibatullah Ramadhana *)
Tak terasa, sudah satu tahun saya mengabdi mengajarkan anak-anak mengaji di tempat yang penuh kenangan ini. Satu tahun ini bagi saya merupakan pengalaman yang luar biasa—pengalaman yang sulit dilupakan, yang mengajarkan saya arti keikhlasan, kebahagiaan, dan rasa syukur. Di tempat inilah rasa penat saya selepas kuliah hilang, karena melihat antusiasme anak-anak dalam belajar mengaji. Di tengah-tengah pesatnya perkembangan teknologi, terutama gadget, anak-anak ini tetap antusias belajar mengaji. Mereka tidak terlalu terpapar oleh pengaruh gadget. Mereka lebih senang menghabiskan waktu untuk bermain sepeda bersama, berolahraga, dan mengaji.
Kehadiran anak-anak ini mengajarkan saya bahwa kebahagiaan tidak selalu bergantung pada hal besar. Anak-anak di sini tidak terlalu bermuluk-muluk untuk meraih kebahagiaan. Mereka hanya memanfaatkan waktu yang ada dan bermain bersama teman-teman. Bahagia yang mereka kejar bukan kemenangan dalam memainkan game di gadget, bukan juga karena naik peringkat dalam sebuah permainan, melainkan dengan kebersamaan dan kreativitas, mereka dapat menciptakan kebahagiaan mereka sendiri—kebahagiaan yang menurut saya sulit ditemukan di zaman sekarang. Inilah kebahagiaan yang sesungguhnya, kebahagiaan yang nyata, bukan hanya fantasi belaka.
Kebahagiaan anak-anak ini pun membuat saya merenung tentang makna kebahagiaan yang sesungguhnya. Tanpa kita sadari, mereka sudah menciptakan kebahagiaan yang begitu seimbang, antara kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Kebahagiaan di dunia mereka dapat dalam permainan bersama teman, dan kebahagiaan di akhirat mereka dapat dalam belajar mengaji di TPA. Sederhana sekali bukan konsep kebahagiaan mereka? Sederhana, namun sesuai dengan konsep kebahagiaan menurut Islam. Konsep kebahagiaan yang seimbang antara dunia dan akhirat—kebahagiaan yang tidak sesaat, tetapi juga menciptakan rasa tenang dalam jiwa.
Salah satu bentuk kebahagiaan sederhana itu kami alami dalam sebuah kegiatan bersama. Suatu hari, kami mengadakan acara jalan sehat bersama. Kami berjalan mengelilingi daerah sekitar TPA, yang memang dekat dengan persawahan dan perbukitan. Pemandangannya tampak indah, terutama saat pagi atau sore hari. Acara ini kami kemas dengan sesederhana mungkin, hanya dengan berjalan mengelilingi sawah dan permainan seru bertema Islami, seperti menempelkan lanjutan ayat pada surat tertentu, tebak nama-nama malaikat dan nabi, serta menyebutkan rukun iman dan rukun Islam. Hadiah yang kami berikan hanyalah medali buatan dari potongan kertas dan kardus yang diikat dengan sehelai tali rafia. Namun anak-anak sangat bahagia ketika memakainya. Mereka tahu bagaimana cara menghormati pemberian orang lain.
Pengalaman itu membuat saya semakin menyadari bahwa kebahagiaan bukan hanya soal mendapatkan apa yang kita inginkan, tetapi bagaimana kita bersyukur dan memanfaatkan apa yang sudah kita miliki. Anak-anak ini mengingatkan saya bagaimana cara bahagia dan cara bersyukur yang sesungguhnya, mengingatkan saya betapa terlenanya saya dengan apa yang telah saya miliki saat ini.
Akhirnya, saya sampai pada satu kesimpulan sederhana namun dalam maknanya—bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar, melainkan dari ketulusan, kebersamaan, dan rasa syukur atas hal-hal kecil yang sering kita abaikan. Anak-anak itu telah mengajarkan saya makna hidup yang tidak saya temukan di ruang kelas manapun. Mereka adalah guru-guru kecil yang tanpa sadar membimbing saya untuk kembali pada hakikat hidup yang lebih jernih dan damai. Mereka mengingatkan saya bahwa dalam hidup ini, bahagia itu memang sederhana, asal kita tahu di mana harus mencarinya.
.
.
*) Hibatullah Ramadhana adalah Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Mahasiswa Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Darussalam (UNIDA), Ponorogo. Sekretaris Himpunan Mahasiswa Prodi Manajemen UNIDA 2025-2026.