Apa Peranmu ?

Menjelang sore, saya mendapat kiriman pesan dari seorang sahabat dari group WA.

Pesannya sangat mengena pada diri ini.

Makjleb !

Memang tidak ada yang kebetulan di dunia ini.

Ijinkan saya share penggalan pesan itu kepada para sahabat di sini :

“Ternyata dunia ini bukan soal di mana kita. Dunia adalah soal peran apa yang kita mainkan ke manapun takdir Allah menuzulkan jasad ini. Dan peran itulah yang kelak kita pertanggungjawabkan kepadaNya. Boleh jadi ia bekal. Atau beban. Kita disilakan untuk memilihnya”.
(Salim A. Fillah)

Terima kasih ya, Allah. Terima kasih, Ust. Salim.
Kiriman pesan itu, lebih menyadarkanku.
Insya Allah terus berbenah.

Mainkan Saja Peranmu, Tugasmu Hanya TAAT, kan ?

“Mainkan Saja Peranmu, Tugasmu Hanya TAAT kan?!”

Oleh : Salim A. Fillah

Ketika ijazah S1 sudah di tangan, teman-temanmu yang lain sudah berpenghasilan, sedangkan kamu, dari pagi hingga malam sibuk membentuk karakter bagi makhluk yang akan menjadi jalan surga bagi masa depan.

Mainkan saja peranmu, dan tak ada yang tak berguna dari pendidikan yang kau raih, dan bahwa rezeki Allah bukan hanya tentang penghasilan kan? Memiliki anak-anak penuh cinta pun adalah rezeki-Nya.

Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?

Ketika pasangan lain mengasuh bersama dalam cinta untuk buah hati, sedang kau terpisah jarak karena suatu sebab.

Mainkan saja peranmu, suatu hari percayalah bahwa Allah akan membersamai kalian kembali.

Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?

Ketika nyatanya kondisi memaksamu untuk bekerja, meninggalkan buah hati yang tiap pagi melepas pergimu dengan tangis.

Mainkan saja peranmu, sambil memikirkan cara agar waktu bersamanya tetap berkualitas.

Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?

Ketika katamu lelah ini seakan tiada habisnya, menjadi punggung padahal rusuk.

Mainkan saja peranmu, bukankah semata-mata mencari ridha Allah? Lelah yang Lillah, berujung maghfirah.

Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?

Ketika belahan jiwa nyatanya bukan seperti imajinasimu dulu, mainkan saja peranmu, bukankah Allah yang lebih tahu mana yang terbaik untukmu? Tetaplah berjalan bersama ridha-Nya dan ridhanya, untuk bahagia buah cinta.

Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?

Ketika timbul iri pada mereka yang dalam hitungan dekat setelah pernikahannya langsung Allah beri anugerah kehamilan, sedangkan kau kini masih menanti titipan tersebut.

Mainkan saja peranmu dengan sebaik sebaiknya sambil tetap merayu Allah dalam sepertiga malam, menengadah mesra bersamanya.

Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?

Ketika hari-hari masih sama dalam angka menanti, menanti suatu bahagia yang katamu bukan hanya untuk satu hari dan satu hati.

Mainkan saja peranmu sambil perbaiki diri semata-mata murni karena ketaatan pada-Nya hingga laksana Adam yang menanti Hawa di sisi.

Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?

Ketika ribuan pasangan pengantin mengharapkan amanah Ilahi, membesarkan anak kebanggaan hati, dan kau kini membesarkan, mengasuh dan mendidik anak yang meski bukan dari rahimmu.
Mainkan saja peranmu, sebagai ibu untuk anak dari rahim saudarimu.

Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?

Ya, taat. Bagai Nabiyullah Ibrahim, melaksanakan peran dari Allah untuk membawa istri dan anaknya ke padang yang kering. Kemudian, rencana Allah luar biasa, menjadikannya kisah penuh hikmah takdir manusia.

Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?

Ya, taat. Bagai Nabiyullah Ayub yang nestapa adalah bagian dari hidupnya, dan kau dapati ia tetap mempesona, menjadikannya kisah sabar yang tanpa batas berujung surga.

Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?

Ya, taat. Bagai Nabiyullah lainnya. Berkacalah pada mereka, dan jejaki kisah ketaatannya, maka taat adalah cinta.

Mainkan saja peranmu, tugasmu hanya taat kan?

Taat yang dalam suka maupun tidak suka.
Taat yang bukan tanpa keluh, namun mengupayakan agar keluh menguap bersama doa-doa yang mengangkasah menjadikan kekuatan untuk tetap taat.

Mainkan saja peranmu, dalam taat kepada-NYA, dan karena-NYA.

Orang-orang Terluka by Salim A. Fillah

ORANG-ORANG TERLUKA
@salimafillah

 

Namanya Mas Tumenggung Sumadipura, bupati Kasultanan Yogyakarta untuk wilayah Japan, Mojokerto sekarang.

Selama menjabat, kecakapannya memerintah membuat wilayahnya adalah yang termakmur di Mancanegara Timur. Ini yang membuat Bendara Pangeran Harya Dipanegara mempromosikan Sang Bupati pada ayahnya untuk menduduki jabatan Patih, menggantikan Raden Adipati Danureja III yang telah uzur.

Sultan Hamengkubuwana III yang selama memerintah memang selalu amat memerhatikan saran-saran putra sulungnya, merasa heran dengan pilihan sang pangeran. Menurutnya, Sumodipuro masih terlalu muda, berasal dari kalangan rakyat biasa, dan logat Jawa Wetan-annya yang dianggap kasar sering jadi cibiran para pejabat lain. Tapi Dipanegara meyakinkan ayahnya. Dan Sumadipura pun dilantik menjadi Pepatih Dalem Danureja IV pada 2 Desember 1813. Jabatan ini akan didudukinya hingga 34 tahun kemudian, 1847.

Dengan latar belakang yang lemah di hadapan para pejabat lain, pada awal bertugas, Danureja IV hanya dapat memegang kendali pemerintahan dengan dukungan penuh Dipanegara. Berkat pasang badannya sang Pangeran atas segala kebijakannya, Danureja IV melewati tahun-tahun pertama jabatannya yang sebenarnya penuh rongrongan dengan prestasi gemilang.

Tapi Danureja IV menyembunyikan sesuatu di hatinya. Dan itu adalah sebuah luka. Luka karena hidup dalam bayang-bayang.

Dia merasa bahwa seakan-akan seluruh dunia berkata padanya,

“Kamu bukan apa-apa seandainya bukan karena Pangeran Dipanegara.”

Dia merasa bahwa semua mata menatapnya dengan pandangan meremehkan. Ketika dia bicara, seakan para bawahannya saling lirik dengan bibir dimencongkan, pula semua mulut kasak-kusuk menggunjingnya di belakang.

Anehnya, segala budi baik Dipanegara padanya justru bagaikan taburan gula yang makin membusukkan luka di hatinya. Terobsesi untuk membuktikan bahwa dirinya bisa, dirinya mampu, & dirinya hebat tanpa Sang Pangeran membuat sang pejabat yang terjangkit sindrom ‘kere munggah bale’ ini kian gelap mata. Ketika Hamengkubuwana III mangkat dan digantikan Raden Mas Ibnu Jarot yang masih kanak-kanak sebagai Hamengkubuwana IV pada 1816, sang Patih mulai menunjukkan kedurjanaannya.

Dia mulai mengganti pejabat-pejabat bawahannya dengan para penjilatnya dan merumuskan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat. Ini semua bersebab di luar Pangeran Dipanegara yang mulai lebih banyak berdiam di Tegalreja, sosok-sosok kuat lain yang dia dapati mampu menjadi patron pelindungnya hanyalah Pemerintah Kolonial Belanda. Orang-orang asing yang amat berkepentingan terhadap Keraton ini menggunakannya sebagai alat bagi segala keuntungan mereka.

Maka naskah Jawa zaman itu mulai menggambarkannya sebagai seorang rusak. Dia disebut “setan kulambi manungsa”, syaithan berbaju manusia, yang “angecu sarwi lenggah”, merampok rakyat sembari duduk manis. Sebaliknya, Jenderal Herbert Merkus de Kock, musuh Dipanegara dalam perang Jawa mencatat sang Patih dalam memoarnya sebagai, “Seorang Jawa yang baik, berbusana rapi, suka mengendarai kuda dengan gagah, punya gundik-gundik cantik, dan tak bisa lepas dari pipa madat.”

Untuk memuaskan hatinya yang luka, Danureja IV rela menjual jiwanya untuk menjadi antek asing.

Antiklimaks hubungannya dengan Sang Pangeran terjadilah. Dalam sebuah penghadapan di awal masa bertakhtanya Sultan bayi Hamengkubuwana V, 1822, menanggapi berbagai laporan atas kesewenang-wenangan anak buah Danureja IV, Dipanegara selaku Wali Sultan menginterogasinya di paseban, dan sang Patih terus mengelak dengan berbagai dalih. Tak mampu menahan emosi, Pangeran yang amat disegani itu menarik salah satu selop alas kakinya dan dengan langkah murka mendekati Danureja IV yang duduk bersembah dan memukulkan selop itu ke kepala dan wajah sang patih.

Penghinaan yang direkam oleh Babad Kedung Kebo itu takkan pernah dilupakan oleh Danureja IV sepanjang hidupnya.

Ketika dalam suatu pesta bersama Belanda, disajikan anggur dan beraneka minuman keras, Danureja IV hendak membalas penghinaan dengan sebuah gelas yang dia tahu Dipanegara takkan sudi meminum isinya.

“Santri udik itu malam ini akan dipermalukan di tengah pesta orang beradab”, batinnya.

Tapi Dipanegara melakukan hal yang kian menyalakan dendam Danureja IV. Begitu gelas diterima, sang Patih kaget karena wajahnya basah dikapyuk, tersiram wine yang dihempaskan Sang Pangeran.

Semenjak itu, seluruh hidup Danureja IV akan didedikasikan untuk menghancurkan kedudukan Pangeran Dipanegara di Keraton Yogyakarta. Dan untuk itu, dia memperoleh mitra yang sama dungunya; Residen A.H. Smissaert. Orang yang telah menaikkannya ke jabatan administratif tertinggi di Keraton itu, dimusuhinya dengan sepenuh kedengkian.

Di dunia ini banyak kisah tentang orang terluka, bahkan sejak zaman Rasulullah ﷺ.

Aus dan Khazraj yang sepakat berdamai telah hendak mengangkatnya menjadi Raja Yatsrib. Mahkota dan singgasana telah disiapkan, harinyapun ditentukan. Tetapi Muhammad ﷺ datang dari Makkah membuat orang-orang berpandangan bahwa, “Jika kita memiliki Nabi utusan Allah, apa perlunya ada Raja?”

‘Abdullah ibn Ubay ibn Salul yang batal jadi raja itu terluka. Luka yang bukannya dia sembuhkan dengan mengakui keutamaan Rasulullah ﷺ yang dengan itu akan membuatnya menjadi tokoh Anshar paling terkemuka; tapi justru dijaganya luka itu agar kian bengkak, bernanah, dan busuk.

“Mereka menyangka tiap teriakan keras ditujukan pada mereka.” (QS Al Munafiqun: 4)

Karena luka itu dijaganya tetap sebagai luka, maka tak beda apakah dipukul palu ataupun dijabat dengan sarung tangan beludru dia tetap merasa kesakitan. Dia menanggapi uluran tangan Rasulullah ﷺ yang hendak membimbingnya ke jalan hidayah dan kemuliaan dengan raungan kepedihan. Dia menyambut uluran lembut Sang Nabi ﷺ dengan jerit kesakitan. Dia selalu melebih-lebihkan dan  bertingkah dengan rasa terancam yang begitu tinggi.

Di hadapan Rasulullah ﷺ dia menunjukkan wajah paling manis, kata-kata paling lembut, dan dukungan bertabur puja-puji paling meyakinkan. Tapi di belakang, digalangnya kekuatan penentang paling keras, dikontaknya Yahudi maupun Quraiys, didirikannya Masjid Dhirar untuk pecah belah, ditiupkannya berbagai fitnah keji termasuk pada Ibunda ‘Aisyah, dan dibangkit-bangkitkannya permusuhan jahiliyah.

Di dunia ini banyak kisah tentang orang terluka, pula di negeri kita. Mereka yang seperti ‘Abdullah ibn Ubay dan Danureja IV, demi luka hatinya rela menjual diri untuk kepentingan musuh bangsa, musuh agama.

Tuhan… Ini Owe !!! by Satria Hadi Lubis

Tuhan…ini owe !!!
By Satria Hadi Lubis

Acong, seorang pegawai yang sangat lugu dan setia. Ia punya kebiasaan unik.

Tiap kali makan siang dan pulang ke rumah, dia selalu menyempatkan untuk berhenti di depan pintu rumah ibadah yang dilewatinya untuk berdoa sejenak.

Dua belas tahun sudah, ia lakukan dengan setia. Sampai suatu hari ada yang bertanya :

“Acong, apa yang loe lakukan di depan pintu rumah Tuhan setiap hari?”

Jawab Acong :

“Owe berdoa”

Ditanya lagi, “Doa apa?”

Acong menjawab :

“Singkat saja. Tuhan, ini owe, Acong”

Suatu hari Acong sakit, masuk ruang ICU.

Ia merintih kesakitan dan berseru :

“Tuhan, ini owe.”

(Setiap rasa sakit mendera tubuhnya, ia selalu panggil nama Tuhan)

Sampai suatu malam Acong bermimpi, Tuhan datang, menyentuh kening Acong dgn lembut sambil berkata :

“Acong, ini Owe”

Acong senang sekali, dia langsung duduk. Tapi, yang menyapa sudah menghilang.

Dilepasnya selang infus, dia keluar dari ruang ICU mencari Tuhan.

Perawat kaget dan bertanya :

“Mau ke mana, Koh?”

Acong menjawab singkat :

“Owe mau nyari Tuhan yang menyapa Owe”

Perawat berpikir Acong ngelindur. Tapi ia heran, waktu diperiksa ternyata Acong sudah sembuh total dan sehat seketika itu juga.

KESIMPULAN :

Tuhan sayang dengan orang yang tulus hati & setia. Tuhan tidak butuh kepandaian kita, DIA tidak butuh fasih lidah kita.

DIA tidak butuh doa yang panjang dan dahsyat..

DIA tidak kagum dengan hebatnya pelayanan kita, indah dan megahnya gedung kita.

Satu hal yang pasti, Tuhan melihat sampai jauh ke dasar hati kita, apa yang menjadi motivasi dan kerinduan kita saat mengiring DIA. Hanya dengan bilang “owe” itu sudah lebih dari cukup ! Tuhan sudah tahu dan mengerti.

Tuhan, ini owe !

Catatan khusus dari Satria Hadi Lubis :
Meskipun SEBAIKNYA berdoa dengan MENERAPKAN ADAB BERDOA, namun cerita ini menggambarkan orang yang ingin selalu bersama Allah SWT.

Dan sesungguhnya Allah Maha Tahu permintaan hamba-Nya.

 

Catatan :

Mari sahabat, kita perbanyak menyapa Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Bermunajat. Bersimpuh menghamba kepadaNYA. DIA dzat yang paling tepat sebagai tempat mengadu.

 

*) Satria Hadi Lubis, lahir di Jakarta bulan September 1965. Kandidat Doktor ini adalah dosen, trainer, penulis buku, dan juga motivator. Beliau dan keluarga menetap di Perumahan Amarapura, Setu, Tangerang Selatan.

Buku karya Satria Hadi Lubis yang layak disimak diantaranya : ‘Burn Yourself’, “Breaking the Time’, ‘Total Motivation’,  dll.

 

 

Kata-katamu Adalah Doamu by Awang Surya

KATA-KATAMU ADALAH DOAMU

Hari itu usai mengisi forum kajian Islam di sebuah masjid, saya buru-buru pulang. Di rumah telah menunggu seorang yang sangat spesial bagi saya. Umi, begitu saya memanggil ibu saya, tengah ada di rumah saya. Dua hari yang lalu beliau datang dari kampung untuk menengok anak laki-lakinya.

Saat saya sampai di rumah Umi sedang duduk-duduk di teras rumah. Hal itu mengingatkan saya pada kebiasaan lama di kampung. Saban malam terang bulan kami sekeluarga duduk-duduk di serambi rumah menikmati malam purnama. Maka usai mencium tangan Umi, saya menemani beliau duduk-duduk di teras rumah.

“Nak…. hati-hati kalau ngomong sama anak,” ucap Umi saat saya baru saja duduk selonjor.

“Memang kenapa, Mi?” tanyaku penasaran.

“Kata-kata Umi kepada anak-anak yang Umi ucapkan bertahun-tahun lalu, kini sudah banyak yang jadi kenyataan,” tutur Umi.

“Apa contohnya, Mi?” kejarku sambil menatap wajah beliau.

“Dulu, Nak…. ketika kamu masih kecil,” ujar Umi.

Umi terdiam. Tampak beliau menahan rasa haru yang dalam. Saya ikut terhanyut suasana haru.

“Ketika kamu masih kecil,” lanjut beliau dengan terbata-bata. “Umi sering bilang…. kalau kamu nanti besar, kamu akan jadi ustadz di Jakarta, Nak,” ungkap Umi.

“Subhaanallah!” pekikku lirih.

Saya merenungi kata-kata Umi itu baik-baik. Sekilas lamunan saya kembali pada masa kanak-kanak di kampung. Saat itu dengan berbagai keterbatasan kami sekeluarga, jangankan ke Jakarta, ke kota Kabupaten saja belum tentu sebulan sekali bisa kami lakukan. Maka ucapan Umi saat itu tentu saja sebuah kemustahilan. Tapi kenyataan hari sudah membukakan mata saya, bahwa kata Umi itu kini benar-benar telah terwujud.

Saya tentu saja bersyukur karena Umi mengucapkan kata-kata yang baik kepada saya. Andai saja saat itu Umi mengucapkan kata-kata yang buruk, maka tak tahulah apa yang akan terjadi pada saya hari ini. Saya tiba-tiba ingin membandingkan dengan tetangga saya di kampung yang gemar berkata buruk kepada anak-anaknya. Dan benar, saya mendapatkan fakta bahwa kehidupan anak-anak tetangga saya itu kini betul-betul buruk. Si anak tertua sudah dua kali keluar masuk penjara. Si adik juga kehidupannya tak pernah beranjak dari kemiskinan yang membelit.

Kini saya menjadi lebih paham makna pesan Rasulullah SAW :

Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir hendaklah berkata-kata yang baik atau diam. (Muttafaq ‘alaih)

Kalau boleh memilih, semua orang pasti ingin berkata-kata yang baik terutama kepada anak yang dicintainya. Tetapi kenyataan menunjukkan banyak orang mudah mengumbar kata-kata yang buruk ketimbang kata-kata yang baik. Mengapa demikian?

Pembaca budiman, kata-kata memang keluarnya dari mulut kita. Tetapi sebenarnya ia ada hasil dari apa yang pernah kita masukkan ke dalam teko jiwa kita. Manakala sebuah teko diisi kopi, maka yang keluar darinya adalah warna hitam. Saat teko diisi susu, maka saat dituang akan keluar warna putih. Demikian itu pula teko jiwa kita. Teko jiwa yang selalu diisi dengan kata-kata baik, maka tumpahannya adalah kata-kata baik. Demikian pula sebalikya.

Ada tiga langkah sederhana yang bisa kita lalukan untuk mengisi teko jiwa kita dengan kata-kata positif. Pertama, perbanyaklah melafalkan kata-kata baik. Dan kata-kata yang terbaik adalah dzikrullah sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW, yaitu subhaanallah, alhamdulillah, Allahu akbar. Bisa juga asma’ul husna. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Maka, setiap ada kesempatan lantunkanlah kalimat-kalimatthayyibah tersebut agar teko jiwa kita penuh dengan kebaikan.

Kedua, perbanyaklah membaca buku-buku tentang kebaikan. Hindari buku-buku yang berisi tentang keburukan. Hari ini di toko buku bertebaran buku-buku yang bagus. Belilah, dan bacalah. Maka akan banyak kata-kata bagus yang tersimpan di teko jiwa kita.

Ketiga, perbanyaklah mendengar kata-kata baik. Salah satunya adalah dengan berkumpul dengan orang-orang baik. Dari mulut orang-orang baik, kata-kata yang keluar dari mulut mereka akan cenderung baik. Maka otomatis teko jiwa kita akan terisi dengan kata-kata  yang baik. Pantas kiranya jika Rasulullah mengingatkan kita akan pentingnya berteman dengan orang baik. Sabda beliau :

“Permisalan teman duduk yang saleh dan teman duduk yang buruk seperti penjual misik dan pandai besi. Adapun penjual misik, boleh jadi ia memberimu misik, engkau membeli darinya, atau setidaknya engkau akan mencium bau harumnya. Adapun pandai besi, boleh jadi akan membuat bajumu terbakar atau engkau mencium bau yang tidak enak.” (HR. Bukhari)

So, mari berkata-kata yang baik di depan anak-anak kita agar masa depan anak-anak kita akan menjadi baik. Bukankah kata-kata adalah doa?

 
Catatan :
*)Awang Surya : penulis, penceramah dan pengusaha tinggal di Bogor.

Beliau adalah salah satu penceramah di Masjid Baitul Hikmah Elnusa.

Alumni Teknik Mesin UB, mantan Kadiv Perusahaan EPC terkenal, yang memilih untuk mengabdikan dirinya pada pengembangan sumber daya manusia. Rekan sejawatnya berseloroh, ia alumni fakultas teknik jurusan dakwah.

Beberapa buku hasil karyanya :
‘Pesantren Dongeng’, ‘Pak Guru’, ‘Bahagia Tanpa Menunggu Kaya’, ‘Ada Masalah, Bersyukurlah’, dll.

 

Ketika Naga Lagi Menggigit Samurai By Dahlan Iskan

Ketika Naga Lagi Menggigit Samurai
By Dahlan Iskan, Mantan Menteri BUMN

 

The Wall Street Journal menyebutnya seru: Ini baru pertama terjadi. Jepang terpaksa melepas perusahaan teknologinya ke negara lain. Terutama teknologi elektroniknya.

Ideologi menjaga   ”rahasia teknologi Jepang” mulai meleleh. Padahal, Jepang dikenal sangat pelit melakukan alih teknologi. Sampai sekarang pun, kita hanya jadi pasar mobil Jepang.

Pelitnya Jepang dalam ”alih teknologi” kini berubah menjadi penyerahan total. Bukan hanya alih teknologi. Sekalian dengan perusahaannya. Terpaksa.

Sharp memang dalam kesulitan besar. Belakangan terus merugi. Berbagai usaha penyelamatan gagal.

Dua kali bailout tidak menolong. Tahun lalu masih rugi  USD 918 juta. Atau sekitar Rp 12 triliun. Belum termasuk angka meragukan yang baru diketahui belakangan.

Pertolongan paling dramatis dilakukan oleh ”dewa baru” Jepang: INCJ. Juga gagal.

INCJ adalah dewa baru. Didirikan pemerintah bersama 19 perusahaan raksasa Jepang. Tugasnya: merangsang perusahaan Jepang agar tidak kalah dalam kompetisi.

Bukan main. Jepang yang kita nilai sudah sangat hebat pun masih perlu melakukan itu:   bagaimana bisa lebih kompetitif. Maksudnya, mungkin, agar jangan kalah oleh Korea.

INCJ (Innovation Network Corporation of Japan) baru dibentuk pada 2009. Ialah yang terakhir berusaha keras menyelamatkan Sharp. Agar jangan jatuh ke asing. Caranya pun drastis: menggabungkan Sharp ke dalam grup Japan Display.

Japan Display didirikan pada 1 April 2012. Empat tahun lalu. Oleh INCJ. Tugasnya menyelamatkan raksasa-raksasa elektronik Jepang. Maka, divisi-divisi layar dari Sony, Toshiba, dan Hitachi digabung ke dalam Japan Display. Panasonic menyusul belakangan.

Maunya: Sharp dimasukkan ke situ sekalian. Tapi, penawaran dari Taiwan terlalu menggiurkan. Dan lagi bank-bank yang selama ini mendanai Sharp lebih mau jalan pintas: jual saja. Sharp bisa lebih cepat selamat. Maksudnya: Banknya juga cepat selamat.

Tawaran Foxconn memang menggiurkan: USD 6,25 miliar. Jepang pun heboh. Oleh besarnya tawaran. Dan oleh ancaman asing.

Tawaran itu dua kali lipat dari harga yang disodorkan INCJ. Dan akan dibayar cepat.

Tapi, drama pun terjadi. Saat Foxconn siap mentransfer uang, muncul data baru: Ada angka yang selama itu belum terungkap. Sharp ternyata memiliki tanggungan USD 3 miliar. Atau sekitar Rp 40 triliun.

Yang bisa jadi bom sewaktu-waktu. Foxconn terbelalak. Ini bahaya. Bisa jadi ganjalan ke depan. Bos Foxconn Terry Guo berang.

Keputusan pun dia ambil: Batal.

Ganti Sharp yang panik. Berita masuknya Foxconn ke Sharp sudah terlalu luas beredar. Ke seluruh dunia.

Jepang yang dikenal sangat ulet dalam negosiasi kini harus menghadapi naga terbang. Sampai-sampai CEO Sharp Takahashi mendadak ke Shenzhen. Mencari Guo.

Foxconn memang punya pabrik besar di Tiongkok. Karyawannya sampai satu juta orang. Komponen-komponen iPhone banyak dibikin di situ. Juga produk Apple lainnya.

Guo tahu bahwa Takahashi minta ketemu dirinya. Dia memang sudah membatalkan transaksi itu, tapi tidak dalam hatinya. Melihat respons Takahashi, Guo membatalkan liburan Imlek-nya.

Tapi, yang menemui Takahashi hanya stafnya. Dia menunggu di kamar sebelah. Alot. Data yang dibawa Takahashi dipelototi.

Rapat itu berlangsung sejak pukul 23.00 sampai 09.00. Tidak ada yang tidur. Juga Guo. Yang meringkuk di kamar sebelah.

Menjelang jam makan siang, kamar Guo diketok. Takahashi bertekuk lutut. Dia menyerah. Menerima tawaran Foxconn yang terakhir: USD 3,5 miliar.

Turun dari tawaran awal yang USD 6,25 miliar. Atau turun sekitar Rp 40 triliun.

Inilah gertakan senilai Rp 40 triliun. Inilah keuletan seharga Rp 40 triliun. Inilah tidak tidur dengan imbalan Rp 40 triliun.

Takahashi memang menyerah.  Tapi bukan karena ngantuk. Harga itu memang masih lebih tinggi daripada tawaran penyelamatan oleh dewa INCJ. Terutama tidak bisa menjamin bahwa tanggungan USD 3 miliar itu tidak berbahaya.

Mengapa pemerintah Jepang tidak all-out dalam menyelamatkan Sharp? Dari tangan asing. Yang akan menguasai saham Sharp sampai 72 persen. Taiwan lagi. Wilayah jajahannya dulu.

Pemerintah Jepang rupanya memang punya agenda tersembunyi: merevolusi mental perusahaan Jepang. Yang selama ini tertutup. Pelit investasi. Kurang mengutamakan pemegang saham.

Pemerintah Jepang ingin memulai persaingan terbuka. Termasuk dalam inovasi. Terutama inovasi jenis bisnis masa depan. Singkatnya, Jepang ingin mulai terbuka pada modal asing.

Untuk membuat manajemen Jepang lebih terbiasa dengan iklim persaingan. Persainganlah yang bisa membuat orang lebih inovatif.

Korea dianggap lebih inovatif. Musuh besarnya itu.

Saat tulisan ini muncul di koran grup Jawa Pos, saya sedang di Jepang. Ingin ke Fukushima. Dan ke Fujioka. Bukan untuk membatalkan drama Sharp-Foxconn itu. Tentu saja.

Nama Terry Guo (Guo Tai Ming) kini begitu top. Dia lambang baru dari zero to hero. Lahir sebagai anak polisi rendahan di Shanxi pada 1950, dia ikut ayahnya mengungsi ke Taiwan. Terdesak oleh pemerintahan baru komunis Mao Zedong.

Di Taiwan, Guo bekerja di pabrik karet. Buruh pemutar roda. Di umur 24 tahun, Guo memutuskan untuk berhenti jadi buruh. Bikin usaha kecil. Berkembang: industri kecil bidang plastik. Dia bikin casing televisi.

Di umur 30-an tahun, Guo pergi ke AS. Selama sebelas bulan dia menjelajah berbagai sudut negara. Mencari pasar. Dengan keberanian nekatnya. Dan kegigihan gilanya. Di usia 65 tahun saat ini, Guo menjadi orang terkaya dunia urutan 250-an.

Istrinya, Serena Lim, meninggal karena kanker payudara. Sepuluh tahun yang lalu. Istri keduanya, Zheng Xinyin, seorang koreograf. Saat menikah itu, duda Guo 55 tahun. Zheng 24 tahun.

Dunia kini menanti masa depan Sharp. Sebagai perusahaan asing di Jepang. Sukses atau kempis. Naga sedang menggigit samurai. Semua ingin tahu apa lakon berikutnya.

 

Kau ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana by Gus Mus

Kau ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana
by Gus Mus

Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Aku harus bagaimana
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana
Atau aku harus bagaimana

Catatan :
Gus Mus adalah panggilan akrab dan populer KH. Ahmad Mustofa Bisri. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin, Leteh, Rembang. Jawa Tengah. Gus Mus dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. 

Beliau dikenal juga sebagai seorang penyair dan penulis kolom di beberapa media cetak nasional.