Ikuti Dahulu, Perbaiki Kemudian

Setelah beberapa bahasan tentang peran serta pemasok dalam mendukung kinerja biaya, saya akan berbagi pengalaman dalam melakukan perbaikan proses bisnis secara internal.

Pembenahan internal tidak kalah pentingnya dalam usaha melakukan penghematan. Memangkas biaya.

Pengalaman pertama saya bekerja adalah sebagai supervisor produksi. Saya ditempatkan pada lini perakitan. Masa orientasi pekerjaan tidak terlalu memakan waktu lama. Sepekan saja. Setelahnya, saya langsung terjun ke lapangan. Learning by doing. Itulah kebijakan pimpinan kami ketia itu. Tentunya dengan pendampingan yang ketat dari atasan saya, Production Manager. Rekan sejawat juga banyak membantu mempercepat pengenalan saya.

Empat bulan pertama, saya mendapati angka produk yang tidak lengkap dirakit lumayan besar. Bisa pada kisaran 8% -10 %. Itu sama saja ada 8-10 produk cacat untuk setiap 100 set produk yang dihasilkan. Tapi yang mengherankan, itu ditanggapi biasa.

“Biasa ini, Pak. Dari dulu juga begitu. itulah gunanya ada kami. Nanti kami repair. Kabel yang tidak lengkap akan dibuatkan manual,” begitu jawab salah seorang tim perbaikan. Ia sering disebut, Repairman.

Kejadian itu menurut penuturan beberapa orang sudah sering terjadi. Memang akhirnya bisa menjadi barang jadi juga. Tapi membutuhkan tenaga, waktu, dan material tambahan. Belum lagi produk hasil manual bisa jadi mutunya tidak sama dengan yang dikerjakan oleh mesin. Pos pemborosan, bukan ?

Saya dalam sepekan mencoba mengikuti alur proses produksi dari akhir hingga saat serah terima. Saya melihat catatan mereka. Catatan tiap seksi lengkap. Tidak ada material yang berkurang.

Perhatian saya pusatkan pada area serah terima. Saya mengamati prosesnya dari lantai 2. Aktivtas tim serah terima saya perhatikan seksama. Nampak mulus, tiada yang aneh.

Akhirnya, saya dibantu salah seorang Kepala Regu, melakukan perhitungan material yang diserahterimakan. Untuk membuat 1 produk jadi, ada belasan kabel berbeda warna dan ukuran. Ada yang sudah digabung dengan kabel lain (joint). Ada yang mandiri.

Hasilnya sungguh mengagetkan.

“Mas, ini kok ada kabel yang kurang 9. Di lain tempat kurang 7. Ada lagi yang kurang 5 biji ?” begitu tanya saya.

Karena pada surat serah terima dengan Lini Persiapan, ditulis dengan gamblang :

“Lengkap !”sembari ada coretan seperti lambangnya ‘Zorro, ketika selesai menumpas kejahatan.

“Wah, saya ndak berani menolak, Pak. Bisa ribut nanti. Ini sudah aturan dari dulu”, jawab salah seorang tim.

Saya meminta dilengkapi dahulu, baru ditransfer ke Assembling Line. Karena cable hanger tidak berjalan. Foreman Lini Persiapan yag sedang bertugas juga berusaha melakukan negosiasi. Ia ingin untaian-untaian kabel yang sudah siap, ditransfer dulu. Nanti mereka akan perbaiki. Saya menolak. Saya beralasan, bahwa ini sudah sering terjadi. Ia harus melengkapi sebagai syarat serah terima berlangsung.

Saya menekankan hal itu sembari menunjuk papan besar yang di gantung pada kolom penyangga pabrik. Sign board bertuliskan :

“Saya tidak menerima produk catat. Saya tidak akan menghasilkan produk cacat. Saya tidak mengirimkan produk cacat”

Ketika itu, selama kurang lebih 2 jam. Area yang digunakan untuk merakit kabel kurang pasokan. Bahkan malah ada beberapa orang yang menganggur. Di lain pihak. Area transfer sangat penuh dengan kabel. Kabel yang tidak lengkap. Tidak sesuai dengan jumlah yang tetapkan pihak production planning.

Singkat cerita, terjadi keributan kecil. Karena rekan sejawat yang juga mendapatkan layanan dari Lini Persiapan juga melakukan hal serupa. Saya pun dipanggil GM Pabrik. Saya dianggap tidak fleksibel. Kaku. Kasus itu pun menjadi perhatian. Kaena saat itu sedang booming order. Saya dan beberapa teman meluruskan bahwa, proses bisnis harus dijalankan sesuai yang telah ditetapkan.

Jika ada ketidaksesuaian seperti tadi, bukan malah diteruskan dan ditangkap saat akhir proses. Tapi harus dihentikan untuk dicarikan pemecahan masalah.

Jika ingin agar proses tetap berjalan dengan adanya cacat dibeberapa tempat, maka produk cacat tersebut harus dipisahkan. Kasus seperti tadi, yang diserahterimakan seharusnya cuma 91 set. Bukan 100 set.

“Kalau begitu caranya, akan ada produk ‘kethengan’ (baca : satuan). PPIC tidak akan mau menerima”, sergah Leader Tim Persiapan, mencoba memberi alasan.

Kami pun mengusulkan bahwa ada lini khusus untuk repair di Lini Persiapan. Gugus tugas yang bekerja ekstra umtuk melengkapi jumlah kabel. Itu harusnya juga sementara. Fire fighting saja.

Lebih jauh lagi, perlu dicermati kenapa ada mesin menghasilkan produk yang kurang.  Apakah faktor operator, mesin itu sendiri, bahan baku yang masuk, atau apa ? Harus dicari akar masalahnya pada tempat yang bermasalah.

Alhamdulillaah, malam itu menjadi jelas. Disepakati menjalankan proses bisnis yang telah ditetapkan. Jika ada perubahan, misal ingin memenuhi pesanan dengan segera, maka proses bisnis existing menjadi dasar perbaikan.

Kami mengakhirinya dengan jalan bareng dan menyantap Soto ‘Torpedo’ khas Warung Betawi di bilangan Kelapa Gading tak jauh dari lokasi pabrik.

Boleh beradu pendapat, bisa jadi ada ketersinggungan. Tapi hati tetap legowo. Tidak ada menang kalah. Itu semua demi kebaikan bersama. Kemajuan perusahaan tempat kami berkarya.

Saya sangat terkesan dengan pengalaman itu. Semoga sahabat juga dapat menarik hikmahnya. Pemahaman akan proses bisnis sangat penting. Ini sesuai pesan dari William Edwards Deming. Beliau salah satu tokoh manajemen mutu di dunia.

If you can’t describe what you are doing as a process, you don’t know what you’re doing.

 

Jika tulisan saya ini membawa manfaat, silakan dibagikan kepada relasi, kolega dan sahabat lainnya.

Silakan memberi masukan dan bergabung dengan “Forum Terobosan dalam Proses Bisnis”, dengan klik tautan ini :

https://www.facebook.com/groups/1142862102437435/?fref=ts

Selamat berkarya !

Silahkan share jika bermanfaat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − nineteen =