Saya, Gun dan Jaelani ketika masih kanak-kanak dikenal sebagai tiga sekawan. Mirip seperti cerita fiksi ”Lima Sekawan” yang populer di masa itu. Cerita yang ditulis Enyd Blyton sangat digandrungi saat itu. Sekarang anda jadi tahu, saya generasi tahun berapa bukan ?
Saya adalah anak yang sekolahnya ke kota. Sekira 7 KM dari rumah. Setiap pagi dibonceng bapak pakai Motor Zundap ke sekolah. Saya harus berangkat pagi menyesuaikan jadwal bapak. Beliau sangat disiplin. Tidak mau terlambat. Kebetulan Bapak adalah Komandan Provost (sekarang : Propam) di kantor Kepolisian Wilayah Malang. Kantor itu setelah perombakan organisasi, sudah tidak ada lagi. Jeep willys beratap kanvas, kendaraan dinas Bapak, kadang juga melakukan antar jemput. Rumah Bapak letter L, dengan halaman yang tidak luas. Di sebelah rumah, Bapak memelihara ayam potong dan burung jalak. Saya muslim tapi bersekolah di sekolah milik Yayasan Katolik.
Gun adalah putra pejabat militer di salah satu kesatuan di Karangploso, Malang. Kebetulan juga rumahnya besar dan berpagar besi plus punya teras luas. Di belakang rumahnya didirikan bangunan bertingkat 4 untuk kos-kosan. Ada 16 kamar yang disewakan. Dia satu-satunya yang punya pemutar video VHS. Salah satu hiburan gratis kami. Apalagi yang diputar adalah film silat negeri Cina yang berseri hingga belasan itu. Mengasyikkan dan melenakan. Bisa lupa waktu. Gun seorang yang berkeyakinan Kristen Protestan. Ia bersekolah di sekolah negeri di dekat rumahnya yang mayoritas muslim.
Jaelani, putra pegawai negeri sipil di kesatuan militer di kawasan Rampal Malang. Ayahnya juga berperan sebagai guru ngaji di musholla. Sekaligus imam Sholat Maghrib dan Isya’. Saya salah satu muridnya. Rumahnya tidak terlalu besar, namun halamannya luas. Ia adalah teman yang paling ‘putih’ kulitnya. Tinggi semampai. Ia dari keluarga muslim yang sangat kuat. Jaelani bersekolah di sekolah Islam di area Dinoyo.
Latar belakang kami mirip, dididik oleh pendidikan yang orang tuanya berdinas di militer. Kata istilah orang kebanyakan, anak kolong. Sehingga waktu belajar dan bermain juga diatur ketat. Saya sendiri biasanya baru tiba di rumah sekira pukul 3 sore. Sepulang sekolah saya mampir dulu makan siang plus tidur siang di kantor bapak saya. Baru hari Ahad/Minggu kami leluasa bermain.
Kami punya jadwal main yang pendek. Ketika ingin memanggil untuk bertemu pun, kadang ada rasa tidak enak. Apalagi memanggil Gun. Susah. Karena pagarnya tinggi. Kamarnya di belakang pula. Berteriak atau memanggil nama, kami hindari. Demikain juga pakai alat yang lain. Takut mengganggu istirahat orang tua. Hanya faktor kebetulan, ketika ada keperluan keluar rumahlah kami tidak sengaja ketemu. Tapi tentunya hanya ngobrol biasa, tidak sempat melakukan permainan.
Suatu ketika pas ketemu kami bersepakat membuat terobosan dengan menggunakan siulan sebagai tanda ajakan bermain. Kode itu terinspirasi oleh salah satu film Indonesia yang diputar di TVRI.
“Lululit.. lulit..lululit… lulit… lululit… lulit”, begitu kode siulan itu.
Kami yang memangggil sembari duduk-duduk atau sembari jalan kecil, membunyikan siulan. Kalau hingga siulan ketiga tidak dijawab, maka berarti yang dipangggil tidak ada. Namun, jika ada di rumah dan mendengar, disepakati untuk menjawab sekali.
Kadang, orang tua saya pun senyum-senyum sendiri, melihat polah saya. Kakak saya pun demikian, melihat keanehan. Ia hanya geleng-geleng kepala. Kadang berseloroh kalau saya lagi ‘kumat’. Karena saya tiba-tiba, tak ada angin dan hujan, bersiul dengan nada khusus tadi. Tapi jangan salah, kode itu membuat waktu kami lebih efektif dan efisien.
Salah satu kegiatan yang masih terekam baik adalah kesenangan kami mencari jalan baru. Kami berjalan bertiga menyusuri jalan maupun pematang sawah di sepanjang Sungai Brantas. Tahu-tahu kami sudah berada di daerah lain. Asing awalnya. Setelah kita bertanya kepada penduduk setempat, ternyata itu adalah daerah yang tidak jauh dari rumah kami. Suatu ketika malah tembus ke Sengkaling. Salah satu tempat wisata milik perusahaan rokok di daerah Dau. Konyolnya, kami sadar bahwa tempat itu lumayan jauh dari rumah. Bisa ditebak kan ? Pulang kembali ke rumah menjadi malas, kecapekan.
Pernah juga kami bersama mahasiswa yang indekos di rumah Gun, dari rumah berjalan menyusuri lereng Gunung Kawi. Daerah yang baru pertama kali kami injak juga. Kami berjalan sudah hampir 3 jam, berputar terus hampir tersesat. Syukurlah ketika itu bertemu petani yang pulang dari mencari buah wuni (buah kecil sebagai campuran sambal). Kami baru pas dhuhur mendapati sebuah desa. Kami makan siang seadanya. Pulangnya, kami harus naik angkot. Alhamdulillaah. Jika rekaman ingatan dibuka, saat ini desa itu ramai sekali. Tidak jauh darinya, berdiri tempat wisata, Batu Night Spectacular (BNS).
Kebiasaan kami, saat SMP pun tidak banyak berubah. Kami naik sepeda. Kadang saya membonceng Jaelani atau Gun. Sepeda yang ada cuma 2. Jangakuan kami saat itu lebih jauh. Bisa ke daerah Karangploso (dekat markas militer). Kadang hingga ke Singosari, daerah yang terkenal karena candi-candinya, pemandian alam, dan buah langsep (buah seperti duku, sayangnya sudah sangat sulit ditemui sekarang). Wagir, daerah yang berbukit dan terkenal buah alpukatnya, juga pernah kami singgahi. Semuanya bukan lewat jalan yang sudah umum. Kami mencari jalan baru. Jika itu mengasyikkan, petualangan kami bagi kepada teman yang lain. Tak jarang kami berombongan bersepeda bersama.
Peristiwa 35 tahun lalu itu, masih menyisakan kenangan. Kami berbeda keyakinan, namun seakan tidak ada sekat. Ketika saat sholat tiba, Gun justru yang mengingatkan kami. Jika ada makanan kami pun berbagi makan bersama.
Saya kehilangan jejak utamanya Gun. Saya belum pernah bertemu kembali selepas saya pindah rumah. Ia kata tetangga lama, menetap di Denpasar. Jaelani, pernah bersua sekira 20 tahun lalu, ia menetap di Malang.
Siulan itu membuat hidup kami lebih berwarna. Semoga siulan lewat media ini dapat mempertemukan kami.