Tiada Saat yang Pas untuk Menikah

Melewati area Kelapa Gading, ternyata melayangkan ingatan saya sekira 20 tahun lalu. Saat itu, Kelapa Gading masih relatif sepi, hanya jalan alternative menuju Yos Sudarso. Mal baru satu. Masih banyak tanah kosong. Saya pernah kos di Jalan Pegangsaan Dua. Berjarak sekira 15 menit naik angkot dengan area Kelapa Gading.

“Gila lu, Rik. Berani ambil anak orang (maksudnya berumah tangga) dengan kondisi seperti ini”, ujar seorang teman sambil geleng-geleng kecil, ketika melihat kos-kosan saya. Dia sengaja main ketika saya sedang melabur (baca : mengecat) tembok kamar. Saya sengaja minta off hari Sabtu itu untuk mencicil bersih-bersih. Lumayan, agar terlihat lebih cerah sebelum memboyong, belahan jiwa.

“Gua mah, nunggu punya mobil dan rumah dulu. Baru berani nglamar anak orang”, sambung dia sembari duduk di teras, menunggu saya beres-beres.

Teman yang satu ini memang punya persiapan kepribadian sebelum menikah. Maksudnya, semuanya disiapkan, seperti mobil pribadi, rumah pribadi, dll.

Kami pun berdiskusi ringan, sembari menikmati kue blek (maksudnya : biscuit yang dimasukkan dalam wadah kaleng kotak).

Saya ketika akan menikah menyiapkan kontrakan petak, 3 ruang, sebagai tempat tinggal. Kamar tamu, kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Ukurannya sekira 3 kali 9 meter. Kami pilih di bilangan Pegangsaan Dua dengan pertimbangan dekat dengan pabrik tempat saya bekerja. Saya terkena shift. Kalau pas dapat giliran malam, tidak terlalu susah cari angkutan umum. Paling apes, naik ojek pun gampang. Tentunya, area itu dekat dengan terminal Pulo Gadung. Bus banyak tersedia untuk mengantar istri mengajar di bilangan Ciledug. Alasan lain, relatif gampang kalau mau pulang kampung.

Kalau dibilang ‘gila’, nggak juga, semuanya sudah direncanakan. Bukan rencana jadi gila lho. Ini realistis. Kenapa ?

Saya punya niat menikah karena Allah SWT. Menikah itu membuka pintu rezeki dan memperbaiki budi pekerti. Saya yakin itu. Makanya, semua kondisi saya ceritakan kepada calon istri. Tidak ada penolakan sama sekali. Kami berdua ketika itu, Alhamdulillaah telah bekerja. Gaji cukup. Kalau banyak atau sedikit, itu relatif. Masa kerja saya baru setahun ketika menikah. Kalau istri, masa percobaan saja belum lewat.

Banyak orang menilai, Kami nekat. Belum punya bekal mumpuni. Belum lagi, tempat kami berteduh pun dianggap kurang layak. Memang, area itu kalau hujan besar, jalan tergenang. Selokan pun meluber. Namun, warna air yang hitam dan bau tak sedap tak pernah mampir ke rumah Kami. Saya bersyukur air itu tidak pernah menyentuh halaman sekali pun. Jika sudah hujan besar, jalan akses tinggal satu-satunya lewat Jalan Bekasi Raya. Areanya pun padat. Sumpek kata orang. Kumuh. Pokoknya, kalau mereka yang memberikan masukan, bakalan tidak akan mau bermukim di situ.

Sekali lagi, kami realistis, kami harus menganggarkan maksimal 10-15% dari gaji, untuk sewa rumah. Sewanya 100 ribu sebulan. Kami harus setting budget, karena ada kebutuhan lain. Pindah ke area Rawamangun pernah jadi pilihan, namun diurungkan. Harga sewa jauh di atas budget kami.

Rumah itu saya buat nyaman, senantiasa dibersihkan. Sirkulasi udara dilancarkan. Air pun, Alhamdulillaah bersih. Jadwal kerja yang memungkinkan saya pada pagi hari berada di rumah, juga ada manfaatnya. Saya bisa membersihkan rumah, mencuci pakaian, dll. Silaturahim dengan tetangga juga lebih intens. Hebatnya lagi, makanan selalu ada. Entah dimasakkan istri atau dibelikan di warung terdekat. Pernah bahkan mendapatkan hantaran dari tetangga. Nggak heran, 6 bulan setelah menikah, Saya naik 10 kg, maksudnya badan sedikit lebih tambun.

Puji syukur, kami baik-baik saja. Kami menempatinya selama sekira 2 tahun. Kekhawatiran teman-teman juga tidak terbukti. Kami happy. Jadi, pertanyaannya ? Apakah waktu menikahnya tepat ? Tepat jika itu ukurannya, saya pribadi. Tentunya jawaban yang sama juga diberikan oleh istri.

Bekal? Bekal utama adalah niat. Itu paling penting. Niat thok? Bekal selanjutnya, jika diartikan harta benda, maka ada juga. Bekal itu, yang penting, cukup. Artinya, bagaimana kita memberikan ukurannya. Apa itu definisi cukup. Bagi Kami, asal kami tidak bergantung kepada orang lain atas kebutuhan primer, maka itu sudah cukup. Kebutuhan primer Kami saat itu : sandang, pangan, papan. Bisa jadi, bagi anak muda sekarang, kebutuhan utama nambah satu : casan (baca : alat mengisi baterai HP). Just kidding, mas Bro and Mbak Sis.

Sering diributkan dan jadi hambatan adalah tempat tinggal. Rumah? Tidak harus memiliki bukan? Bisa sewa atau kontrak atau bahkan untuk sementara ada yang memilih menetap di rumah orang tua. Bagaimana standardnya? Sekali lagi sesuai ukuran kita, kemampuan kantong. Tentunya standar kelayakan dan kesehatan juga dijadikan faktor tambahan. Bagi saya, yang terpenting belanja harus lebih kecil dari pendapatan. Cari rumah juga disesuaikan. Saya pribadi menaruh gengsi di alas kaki. Bagi kami, konyol, kalau sewa papan, tapi kita malah tidak survive. Bergantung pada pihak lain. Berhutang atau cari jalan lainnya.

So, bagaimana menentukan saat yang tepat untuk menikah ? Tiada waktu yang pas, kapan menikah. Pathokan paling gampang, ketika sudah ada calon, segera menikah jauh lebih penting dan mendesak, daripada memikirkan tetekbengek yang bukan masalah utama. Bukan kebutuhan utama, harus jadi pikiran kesekian belas.

Saya yakin, rezeki Allah takkan berhenti. Tidak ada, miskin karena menikah. Justru rezeki malah datang dari arah yang tak terduga.

Rasulullah SAW bersabda : Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah akan memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, dan menambah keluhuran mereka.” (Al Hadits)

Silahkan share jika bermanfaat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 2 =