Tipe Menyerah atau Curang by Azrul Ananda

Tipe Menyerah atau Curang

By Azrul Ananda *)

Jawa Pos : RABU, 29 MARET 2017

ANDA tipe gampang menyerah? Atau tipe yang suka menyiasati keadaan (dalam artian curang)? Kalau jawabannya iya, bagaimana?

***

Saya beruntung bekerja di media. Tidak pernah ada dua hari yang sama, tidak pernah ada rutinitas. Bertemu banyak macam orang, bekerja dengan berbagai tipe manusia.

Saya juga bersyukur bisa menekuni sejumlah hobi. Selalu belajar sesuatu yang baru. Selalu berkenalan dengan orang baru. Selalu belajar tentang atau dari orang-orang baru itu.

Sabtu, 25 Maret lalu, saya bertemu dan berkenalan dengan begitu banyak orang baru. Ketika menyelenggarakan event bersepeda Jawa Pos Cycling Bromo 100 Km, dari Surabaya menanjak ke Wonokitri, Bromo, via Pasuruan.

Bersama puluhan teman menjadi road captain, kami bekerja seperti gembala. Membawa total 1.170 cyclist dari 15 negara, termasuk yang mewakili 109 kota di berbagai penjuru Indonesia.

Semua mendaftar untuk ikut ’’sengsara’’, merasakan beratnya tanjakan menuju Wonokitri itu. Total tanjakannya hampir 40 km, menantang ketahanan fisik dan mental, dengan bagian akhir paling menyiksa: Tanjakan miring sampai 18 persen pada sekitar 250 meter memasuki Pendapa Wonokitri, di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.

Bagi kami cyclist di Jawa Timur (cyclist beneran yang tidak takut menanjak, bukan cyclist-cyclist-an yang hanya bike-to-eat), tanjakan menuju Wonokitri itu sudah berkali-kali kami lalui. Tapi, tidak pernah sekali pun terasa makin gampang.

Bahkan, kalau badan sedikit saja tidak fit, sangat mungkin tidak akan berhasil finis.

Nah, membayangkan ada lebih dari seribu orang mencoba menaklukkannya, dengan berbagai macam kemampuan, akan memberikan pemandangan seru.

Mereka yang kuat, tidak perlu diperhatikan. Itu merupakan hasil semangat dan dedikasi untuk berlatih, menjadikan diri semakin kuat dan tangguh.

Ada pula mereka yang tahun-tahun sebelumnya gagal finis, dan telah rutin berlatih supaya tahun ini bisa finis.

Mereka yang ’’tanggung’’, itu yang menarik untuk dibahas. Melihat pemandangan dan ulah-ulah manusia di tanjakan panjang itu, saya membayangkan seharusnya banyak dosen psikologi mengajak pelajar-pelajarnya untuk ikut mengamati. Karena di saat menghadapi tantangan berat seperti itulah, sifat-sifat manusia bisa kelihatan. Dan belum tentu sifat yang baik.

Saya dan sejumlah road captain memutuskan untuk berangkat agak belakang di bagian terakhir event. Yaitu, 17 km terakhir yang terberat, dari Desa Puspo menuju Wonokitri.

Kalau sehat, saya saja butuh sekitar 1 jam dan 20 menit untuk menyelesaikan bagian akhir itu. Kebanyakan cyclist yang tergolong mampu menanjak akan membutuhkan waktu 1 jam 30 menit hingga 2 jam. Mereka yang tergolong sangat kuat atau atlet akan membutuhkan waktu di kisaran 1 jam.

Dari Desa Puspo, rombongan diberangkatkan pukul 10.15 pagi itu. Kelompok saya baru berangkat sekitar 20 menit kemudian. Selain untuk menjadi alat ukur waktu panitia, juga untuk melihat situasi dari sudut pandang belakang.

Plus, badan saya waktu itu juga tidak fit, beberapa hari sebelum event mengalami radang tenggorokan (beberapa yang lain sama).

Pemandangan dari belakang benar-benar seru. Ratusan peserta kami lalui dalam 17 km tersebut.

Sekitar 8 km sebelum finis, sudah banyak yang bergelimpangan di pinggir jalan. Entah karena kram, atau murni karena lelah. Bau balsam juga mulai tercium dari mereka.

Tidak sedikit di antara mereka yang menyerah. Memilih berputar balik turun ke bawah dan pulang. Atau naik mobil pendamping untuk pulang.

Ada yang tetap bertekad untuk mencapai finis dengan segala kekuatan. Walau kadang harus berjalan menuntun sepeda. Dan mereka terus berusaha mencapai finis sampai jam berapa pun, walau time limit sudah terlewati dan segala acara di puncak telah selesai.

Bagi saya, ini yang tergolong ’’terhormat’’, karena tetap berupaya finis menggunakan tenaga sendiri.

Ada pula yang mulai ’’mencari bantuan’’ mobil atau motor pendamping. Caranya tetap duduk di atas sepeda, tapi tangannya memegangi mobil atau motor sehingga dapat ’’tenaga lain’’. Lalu, ketika mendekati finis, mereka kembali mengayuh sepeda, sehingga seolah-olah finis beneran.

Ada lagi yang tidak punya akses terhadap mobil atau motor pendamping, lalu memutuskan mencari cara lain. Yaitu: Melobi motor-motor penduduk untuk mau membantu mereka naik ke puncak. Alias ngojek. Teman saya yang tinggal di kawasan itu bilang, Sabtu itu ojek laku keras.

Melihat itu semua, saya hanya bisa geleng-geleng kepala.

Panitia sudah menyediakan banyak truk dan pikap untuk mengevakuasi peserta-peserta yang melewati time limit. Tapi, banyak yang tetap memilih pakai ojek atau bantuan pihak lain.

Jangan-jangan, mereka malu kalau diangkut pakai mobil resmi. Dan merasa lebih gagah atau bergengsi kalau menggunakan cara-cara ’’alternatif’’ tersebut.

Dan di berbagai cycling event di Indonesia, trik-trik itu sudah sangat lazim. Pernah waktu di kawasan Jogjakarta, ada peserta dari Jawa Tengah yang sengaja tidak ikut start dengan peserta lain. Mereka memilih naik mobil dulu sampai kaki tanjakan, lalu baru memulai bersepeda ketika rombongan sudah sampai di sana.

Hadeh-hadeh… Lha gitu itu maksudnya apa?

Ulah-ulah orang-orang itu benar-benar bikin geleng-geleng kepala, dan bahkan menggelikan.

Mereka orang dewasa. Kebanyakan berpendidikan. Banyak yang tergolong mampu. Tapi tetap memilih cara-cara seperti itu.

Dan kalau dipikir-pikir, bukankah itu cerminan banyak masyarakat Indonesia? Yang memilih jalan pintas –yang sering tidak terhormat– daripada bersusah-susah payah?

Bagi mereka-mereka itu, saya hanya bisa berdoa dan berharap. Semoga hati mereka dibuka, diberi kekuatan, supaya terpacu untuk berlatih dengan sungguh-sungguh. Supaya kelak tidak harus curang, tidak harus mencari jalan pintas.

Mau kuat? Ya latihan. Saya dulu juga tertatih-tatih kok kali pertama menanjak Bromo. Harus berhenti belasan kali sebelum benar-benar sampai ke atas. Tapi, waktu itu tidak mau menyerah. Harus bisa finis dengan kekuatan sendiri.

Saya tidak finis juga pernah saat latihan. Dan itu tidak apa-apa. Karena kaki sudah kram tidak mungkin dipaksakan lagi.

Saya juga berdoa dan berharap supaya event seperti Bromo 100 Km itu bisa menjadi pelajaran untuk tidak menjadi cyclist yang ’’manja’’. Yang ke mana-mana minta dikawal, membawa mobil pendamping.

Ikut event-event serupa di luar negeri, sepeda-sepedanya tidak seheboh atau semahal di Indonesia. Tapi, pesertanya mandiri-mandiri, bisa mengganti ban sendiri atau menyelesaikan masalah sendiri.

Semoga kelak di Indonesia juga sama. Karena itu cerminan masyarakatnya juga. Yang tangguh-tangguh, tidak manja-manja. Yang tidak mencoba mengakali situasi.

Selamat berlatih. Sampai jumpa di event berikutnya. Dan semoga di event berikutnya itu semua semakin kuat. Semangat !

 

*) Azrul Ananda, CEO dari Jawa Pos Group. Perusahaan media lokal yang menasional. Baru-baru ini juga membeli klub sepakbola Persebaya Surabaya.

Foto diambil dari jawaposcycling.com

Kebiasaan Orang Kaya dan Sukses by Jamil Azzaini

Kebiasaan Orang Kaya dan Sukses

 

Banyak riset dan kajian yang mempelajari kebiasaan orang-orang sukses. Salah satu pengamatan yang populer dilakukan oleh Thomas Corley. Selama lima tahun ia melakukan pengamatan dan hasilnya dituangkan dalam bukunya :

Rich Habits: The Daily Success Habits of Wealthy Individuals

Orang kaya yang dimaksud dalam kajian Corley berpenghasilan di atas $160.000 atau di atas 2 milyar rupiah per tahun. Punya kekayaan di atas $3.2 juta atau 41 milyar. Sementara orang miskin memiliki pendapatan dibawah $35.000 atau 455 juta rupiah per tahun dan punya kekayaan dibawah $5.000 atau 65 juta rupiah.

Apabila diringkas, ada 21 kebiasaan orang kaya yang dilakukan berbeda dengan orang-orang miskin. Namun dalam tulisan ini saya hanya menampilkan beberapa saja. Selebihnya silakan googling dan baca bukunya, ya. Hehehe…

Orang kaya ternyata punya kebiasaan menonton TV kurang dari satu jam sehari. Mereka juga tidak menyukai acara reality show di TV. Hanya 6 % orang kaya menonton reality show, sementara 78 % orang miskin menonton acara ini.

Orang-orang kaya lebih menyukai membaca buku daripada menonton acara TV. 88 % orang kaya membaca buku untuk meningkatkan kualitas diri rata-rata 30 menit setiap hari. Sementara orang miskin yang melakukan hanya 2 % saja.

Kebiasaan sederhana lain yang dilakukan orang kaya adalah mereka selalu menjaga senyum mereka. Senyum membuat mereka bahagia dan menikmati kekayaannya. Sungguh rugi, bila sudah miskin mahal senyum lagi. Tepatlah nasehat yang berbunyi:

“Jangan nunggu bahagia baru tersenyum tetapi tersenyumlah maka kau akan bahagia”.

Orang-orang kaya yang semakin kaya ternyata juga punya kebiasaan menyediakan waktu untuk membangun persahabatan. Mereka tidak hanya sibuk bekerja atau berbisnis, mereka juga senang bersilaturahmi dengan banyak orang. Sementara orang miskin, sibuk tapi “for nothing”. Terlihat sibuk tetapi hasilnya tidak signifikan.

Mereka juga selalu meningkatkan keahlian. Mereka rela mengeluarkan uang untuk meningkatkann keahliannya. Bahkan sahabat saya, rela membayar 1 milyar rupiah untuk berguru bisnis ke Amerika Serikat. Padahal biaya itu belum termasuk transport dan akomodasi untuk pergi-pulang ke negeri Paman Sam itu setiap dua bulan.

Saya pun mengamati, para trainer yang semakin kaya mereka yang juga mau belajar dengan sesama. Tidak merasa sudah serba bisa dan merasa gengsi bila harus belajar dengan sesama trainer.

Saran saya untuk para trainer, segera belajar dengan sesama trainer di acara Trainer Bootcamp & Contest yang diadakan Akademi Trainer. Hubungi segera 0812-1632-0707

Boleh saya bertanya, apakah Anda sudah punya kebiasaan orang kaya?

Salam SuksesMulia !

 

*) Jamil Azzaini dikenal sebagai Inspirator Suksesmulia, Motivator, sekaligus CEO of Kubik Leadership

Mendunia by Salim A. Fillah

Cerita yang menyemangati diri ini. Terus berkarya. Berbuat lebih baik. Terbaik. Berupaya memberikan warisan yang semerbak harum dan bermanfaat. Silakan disimak karya Mas Salim A. Fillah ini.

MENDUNIA

Dalam sebuah perjalanan ke negeri Paman Sam pada tahun 1980-an, begitu Prof. Dr. Umar Kayam bercerita dalam serial ‘Mangan Ora Mangan Kumpul’-nya, pramugari Pan-American yang rutenya Jakarta-Honolulu-San Francisco bertanya pada beliau sambil meringis dengan manis.

“Would you like French Dressing, Italian Dressing, or Javanese Dressing for your salad, Sir?”

Serius ini, pikir Pak Kayam, ada Javanese Dressing? Gek kayak apa itu ya? Apa ya bisa tanding disejajarkan dengan penggerujuk salad ala Perancis yang terbuat dari vinegar wine, mustard, merica hitam, garam, dan minyak itu, atau cara Italia yang bahan utamanya minyak zaitun, bawang putih, peterseli, dan lada putih.

“Javanese Dressing, of course!”, jawab Pak Kayam lebih karena ingin tahu.

Dan jreng jreng jreng…

Javanese Dressing rupanya adalah Sambal Brambang Asem. Itu sedikit cabe, ditambah garam, gula jawa, bawang merah, dan asam jawa digerus bersama hingga menjadi cairan kecoklatan yang sedap segar. Variasinya bisa ditambah wijen atau kacang sangrai sedikit. Di desa-desa antara Solo-Yogya, ia biasa dipakai mengguyur rebusan kuluban, utamanya kangkung sak-ubarampenya.

Sambal Brambang Asem pernah menjadi Javanese Dressing yang mendunia bersama maskapai penerbangan yang kala itu jaya.

Yang hendak saya katakan kali ini agaknya adalah, jangan menyerah ketika salah satu tapak yang diayun untuk mendunia dipatahkan orang. Ya, saya sedang berada di pabrik pesawat Boeing di Everett, Seattle, tempat saya berjumpa dengan para engineer yang pernah berbakti di IPTN. Ada getir dan ada pilu mengenang N-250 dan calon N-2130 kala itu. Tapi saya tahu, kita seharusnya tak meratap. Jika brambang asem pernah bisa terselip jelita di pesawat buatan Amerika yang dioperasikan maskapai Amerika, ada banyak hal lagi yang dapat kita karyakan untuk mendunia.

Duhai keramahan senyum Indonesia, duhai gotong royong yang amat hangat, duhai keakraban di pengajian sembari makan-makan, duhai rendang, bakso, juga sate, duhai pelajar-pelajar pintar, duhai kerajinan tangan dan seni budaya, duhai rampaknya saman, duhai tenaga kerja yang menebari jagat, duhai animasi yang halus, duhai apps yang diunduh-pasang, duhai start-up yang cerdas, duhai senapan serbu yang jitu, duhai kapal PT PAL, duhai terus berlanjutnya CN-235, dan duhai segala industri strategis yang kembali bangkit merintis.

Duhai Indonesia, teruslah berkarya, mendunia.

Orang Kaya dan Orang Pintar by Azrul Ananda

Orang Kaya dan Orang Pintar

Oleh : AZRUL ANANDA*) | JawaPos, RABU, 13 JULI 2016 05:10

ORANG pintar belum tentu kaya, orang kaya belum tentu pintar. Lalu, bagaimana?

***

Waktu senggang di Jakarta, saya mampir ke sebuah toko sepeda mewah di kawasan SCBD. Lihat-lihat sepeda yang harganya di atas Rp 100 juta per buah.

Saya ditemani seorang mantan atlet sepeda hebat, yang sangat-sangat tahu soal sepeda.

Kebetulan, ada seseorang yang sedang asyik menjajal salah satu sepeda yang dijual. Dia punya banyak permintaan kepada mekaniknya. Minta sadelnya terus dinaikkan, walau sang mekanik (yang saya rasa sangat mengerti sepeda) bilang itu sudah ketinggian.

Teman saya yang ahli sepeda itu pun ikut nimbrung. Dia juga mengingatkan calon pembeli itu bahwa posisi sadelnya sudah ketinggian. Saya –yang sudah lumayan paham sepeda– ikut merasa sama, tapi tidak bilang apa-apa.

Yang jelas, karena tingginya sadel, posisi duduk orang itu memang sudah agak konyol.

Tapi, tetap saja orang itu ngotot. Bahkan dengan nada tinggi bilang posisi itu adalah yang benar.

”Badan kita kalau siang lebih panjang daripada di pagi hari,” katanya dengan nada tinggi.

Dia lantas bercerita tentang pembalap kelas dunia Mark Cavendish, yang memang dikenal cerewet soal setelan sepeda, selalu mengutak-atik tinggi sadelnya (dan bagian lain) sesuai keadaan.

Malas berargumen, kami ya diam saja.

Dalam hati, saya nyeletuk, ”Emange loe Mark Cavendish?”

Orang potongan badan aja sama sekali gak kayak pembalap! Paling mancalnya biasa-biasa saja, tapi sok tahunya minta ampun…

Tentu saja itu hanya cerita yang saya ingat di toko sepeda mewah. Belum lagi cerita-cerita lain saat lihat pameran mobil mewah, toko baju, atau tempat-tempat lain yang lazimnya orang berduit mampir dan berbelanja.

Mungkin ini pemandangan familier: Ada orang –yang mungkin kaya– mengomeli sebuah mobil yang dipamerkan. Ngomel kurang ini, kurang itu. Modelnya jelek lah, warnanya jelek lah, audionya jelek lah, mesinnya seharusnya begini lah, dan lain sebagainya.

Padahal, dia mungkin sama sekali tidak punya pengetahuan teknis soal mobil, tidak punya background desain, dan –kalau melihat cara berpakaiannya– kayaknya juga tidak fashionable. Dia memang pakai baju bermerek, bahkan mereknya kelihatan sampai menyakitkan mata, tapi tetap tidak terlihat fashionable.

Kalau melihat gaya orang-orang seperti itu, pusing juga. Dan kasihan melihat salesman-nya atau orang-orang yang bertugas meladeninya. Di satu sisi ingin menjelaskan yang baik itu seperti apa, kenapa itu seperti itu, tapi yang mau diberi penjelasan mungkin juga tidak bisa menyerapnya.

Parahnya lagi, yang mengeluh dan mengomel itu juga belum tentu beli! Lebih parahnya lagi, yang mengeluh dan mengomel itu terus menyampaikan pendapatnya yang belum tentu benar itu kepada orang lain.

Konsumen adalah raja. Raja adalah yang berkuasa. Tapi, yang berkuasa belum tentu orang pintar. Dan sangat sulit untuk meladeni raja yang bukan orang pintar.

***

Cerita senada juga banyak muncul dari kalangan profesional, yang sering kebingungan menghadapi bos-bosnya, yang notabene orang yang lebih kaya. Apalagi kalau itu benar-benar owner dan sudah agak/sangat berumur.

Di satu sisi, ada profesional yang sekolahnya bagus dan tinggi, kemampuan sebenarnya juga mumpuni. Apesnya saja, dia kalah kaya, jadi tetap harus bekerja untuk orang yang lebih kaya. Dan orang yang lebih kaya itu belum tentu pernah bersekolah. Atau paling tidak, sekolahnya zaman dahulu kala dan sudah tidak update.

Sang profesional ingin melakukan sesuatu dan mengusulkan program/strategi yang mungkin bisa membuat perusahaan lebih besar serta maju. Belum tentu benar, belum tentu berhasil, tapi dasar logika dan pemikirannya mungkin benar.

Sang bos tentu tidak memahami serta memaksakan harus begini dan begitu.

Saya bertemu dengan seorang profesional dari Tiongkok, seorang pimpinan marketing sebuah perusahaan. Kami berdiskusi tentang desain dan branding, juga bagaimana di Asia ini sulit sekali menerapkan promosi desain yang halus dan elegan.

Alasannya simpel: Karena bosnya lebih suka logo yang besar menyakitkan mata. Kalau ada billboard ukuran 8 x 12 meter, logonya kalau bisa memenuhi itu, atau paling tidak pesan-pesannya memenuhi setiap sudutnya. Karena yang dibayar kan 8 x12 meter itu. Masak cuma dipakai separonya, lalu sisanya ”hanya” dijadikan visual rest area.

Memang, sekali lagi, sang profesional belum tentu benar. Elegan belum tentu efektif. Tapi, paling tidak ini bisa dijadikan contoh. Bahwa telah terjadi gap pola berpikir.

Kalau berlanjut, bisa lebih membahayakan. Sebab, yang kaya dan berkuasa itu –kalau ternyata salah– bisa menghambat, mematikan, bahkan membuat frustrasi mereka yang pintar.

***

Sebagai orang yang pernah frustrasi menghadapi yang lebih berkuasa (orang tua, wkwkwkwk), aneh rasanya ketika saya dalam posisi lebih kaya dan berkuasa.

Apalagi ketika punya tim yang harus bekerja keras mengikuti kemauan saya.

Di satu sisi, ada banyak hal yang ingin saya paksakan, karena saya merasa memang harus begitu dan begini. Karena saya merasa mereka belum paham garis besarnya dan belum pernah merasakan nantinya seperti apa.

Di sisi lain, jangan-jangan saya salah dan mereka yang benar. Dan saya menghambat mereka untuk membantu memajukan perusahaan.

Untung, saya belum masuk kategori tua (kayaknya sih begitu, kan belum kepala empat, wkwkwk). Jadi, saya masih cukup fleksibel untuk mencoba memahami sekaligus cukup senior untuk bersabar menunggu hasil. Baik maupun buruk.

Kalau ada anggota tim yang ingin melakukan sesuatu, dengan alasan ini yang katanya diinginkan konsumen, saya akan menahannya dulu.

Sebab, dalam pelajaran marketing, konsumen memang raja, tapi mereka belum tentu tahu apa yang mereka mau. Mereka mungkin teriak-teriak pengin begini dan begitu, tapi mereka belum tentu tahu kalau itu benar atau baik.

Seperti kata Steve Jobs :

It’s not the customer’s job to know what they want.”

Berdasar pengalaman, rasanya itu benar. Kalau saya ”mendengarkan dengan baik dan taat” semua keluhan dan omelan yang saya terima dulu, mungkin banyak karya saya sekarang tidak jadi kenyataan yang besar.

Misalnya ketika Jawa Pos berfokus ke anak muda, membuat banyak pembaca ”tuwir” mengomel dan mengeluh. Misalnya ketika membuat liga basket SMA menjadi DBL, yang dulu juga mengundang banyak cibiran dan protes.

Untung, dulu saya cuek bebek waktu diomeli.

Tapi, saya sendiri juga sering memaksakan kemauan sebagai yang berkuasa (dan yang lebih kaya, wkwkwkwk…). Sekarang saya sudah belajar untuk agak mengerem dan berpikir lebih lanjut.

Lagi-lagi, omongan idola saya, Steve Jobs, saya jadikan pegangan.

Dia bilang :

It doesn’t make sense to hire smart people and then tell them what to do; we hire smart people so they can tell us what to do.”

Kalau merasa punya tim yang pintar, biarkan saja lah mereka berkreasi dan berkarya. Kalau berhasil, itu sangat baik buat mereka (dan masa depan mereka), juga sangat baik untuk perusahaan (dan masa depan perusahaan).

Kalau tidak berhasil, toh ya sudah jelas harus bagaimana…

 

*Azrul Ananda, dilahirkan di Samarinda pada tahun 1977. CEO 0f Jawa Pos Group. Peraih penghargaan World Young Reader Prize pada tahun 2011

silakan juga di klik link : http://www.jawapos.com/read/2016/07/13/38943/orang-kaya-dan-orang-pintar

Pada Suatu Titik

PADA SUATU TITIK
by Salim A. Fillah

Pada suatu titik ketika bandul kezhaliman menyimpang melampaui batasnya, Allah punya cara untuk memberinya ayunan pembalik yang tak kalah dahsyatnya.

Adalah Abu Jahl melecehkan Muhammad SAW di depan khalayak dengan hinaan, cercaan, dan kutuk yang angkara, maka Hamzah yang selama ini masih ragu dan membiarkan perjuangan keponakannya berjalan alami sahaja dilanda murka.

Menunggang kuda dan berthawaf tanpa menurunkan busur serta buruannya, dia lalu hantam kepala Abu Jahl hingga berdarah dengan ujung gandewa, dan dengan kata-kata menyala mengumumkan keislamannya.

Pada satu titik, setiap simpangan pasti berbalik.

Seperti ketika kebencian ‘Umar kepada Muhammad SAW telah memuncak dan nyaris meledak di ubun-ubunnya.

Petang itu, dia telah membulatkan tekad untuk membunuh lelaki jujur yang dia anggap berubah menjadi pemecah belah Makkah sejak beberapa tahun belakangan, yang memisahkan suami dari istri, anak dari bapak, dan karib dari kerabat karena keyakinan mereka.

Dia malah berbelok ke rumah adiknya, dan darah yang mengaliri wajah suami istri Fathimah-Sa’id dari tamparannya, membuatnya rela mendengarkan Kalam. Dia lalu bergegas ke rumah Al Arqam, bukan untuk membunuh, melainkan untuk menjadi Al Faruq yang gelegar semangatnya menggigilkan Musyrikin di keesokan harinya.

Pada suatu titik, setiap simpangan pasti berbalik.

Seperti ketika Suhail ibn ‘Amr memaksa dihapusnya nama “Arrahmanirrahim” dan sebutan “Rasulullah SAW” dari naskah Hudaibiyah, maka justru peristiwa itu ditandai oleh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dengan turunnya firman:

“Sesungguhnya Kami telah bukakan untukmu kemenangan yang gilang gemilang.”

Dan jumlah orang yang berbondong masuk Islam dalam 4 tahun berikutnya berribu kali lipat dibanding 19 tahun penuh darah dan airmata yang telah lewat.

Maka kita katakan kepada semua tiran lacut dan penganiaya ummat, terus-teruskan sahaja jika kalian memang mengingini kezhaliman bersimaharajalela, tapi sekeras kalian mengayun, sebegitupun ia akan berbalik tanpa ampun.

Dunia Menuju Deglobalisasi

Bacaan teman bersantai pagi hari. Silakan dikedapi.

DUNIA MENUJU DEGLOBALISASI?
by Fuad Bawazier, Menteri Keuangan RI 1998

Minggu lalu saya menulis bahwa kemenangan Brexit di Inggris dan Donald Trump di Amerika bisa jadi awal dari proses deglobalisasi ekonomi dunia yang dipelopori kedua negara kuat tersebut. Dulu kedua negara ini juga, dalam kepemimpinan PM Margareth Thatcher dan Presiden Ronald Reagan,- yang memelopori globalisasi.

DEGLOBALISASI bukan berarti meninggalkan sistem ekonomi pasar dg kapitalismenya. Perdana Menteri baru Inggris Theresa May dan Presiden baru Amerika Serikat Trump hanya ingin melepaskan negaranya dari ikatan atau kesepakatan-kesepakatan global dalam bidang ekonomi, khususnya perjanjian-perjanjian free trade and free investment, serta arus buruh dan imigran lintas negara, serta perlindungan lingkungan yg dirasakan merugikan kepentingan ekonomi nasionalnya dan mengurangi kebebasannya dlm mengatur ekonomi negerinya sendiri.

Amerika dan Inggris tiba tiba menyadari bahwa globalisasi atau internasionalisasi ekonomi yang digelorakan selama 3 dekade ini ternyata mengurangi kedaulatannya sendiri dalam mengatur berbagai kebijakan nasionalnya terutama dalam bidang ekonomi. Negara negara di Eropa misalnya, karena pembentukan Uni Eropa, telah melepaskan mata uang nasionalnya kecuali Inggris dan Swiss yg tetap mempertahankan mata uangnya sendiri. Karena menjadi anggota UE kini masing-masing negeri anggotanya tidak bebas atau leluasa mengatur kebijakannya sendiri dalam bidang investasi, perburuhan, pengungsi, arus keluar masuk barang ke negerinya dll.

“Pertukaran kedaulatan” seperti ini tentu saja memberikan keuntungan dan kerugian yang berbeda beda bagi anggotanya. Sementara itu karena globalisasi, instrumen instrumen koreksi konvensional seperti tarif dan pelarangan atau pengaturan arus buruh asing sudah dihapuskan. Padahal sistem tarif bea masuk sudah lazim digunakan sebagai koreksi atas perbedaan kekuatan antar negara (antar negara eksportir dan negara importir), atau dengan kata lain untuk melindungi produksi dalam negeri dari serbuan produk produk asing yang dapat mematikan produsen dalam negeri.

Prinsip utama yang terkandung dalam pengaturan ekonomi yg berasaskan perbedaan batas batas negara (prinsip nasionalisme atau kebangsaan) adalah perlindungan terhadap produsen atau produksi dalam negeri. Aliran ini berpendapat bahwa dalam jangka panjang negara produsen akan lebih kuat dan unggul atau memenangkan pertarungan global sebab lebih mandiri. Dengan kata lain, membayar sedikit lebih mahal untuk produksi nasional (dalam negeri) itu lebih baik dari pada membeli murah produksi impor. Orang Jepang misalnya, lebih suka membeli beras produksi petaninya sendiri meski jauh lebih mahal daripada beras impor. Tapi rakyat Jepang menyadari pentingnya mandiri beras daripada sekedar dijadikan pasar produk bangsa lain yg sewaktu waktu bisa saja mengembargo atau gangguan lainnya.

Tegasnya, salah satu perbedaan penting antara pengaturan ekonomi atas dasar pengakuan batas batas negara (nasional) dengan sistem global (meniadakan batas negara) adalah tarif utk melindungi produksi nasionalnya versus sistem global yg mengutamakan pokoknya murah demi keuntungan konsumen. Pada sistem global yang secara ekonomis meniadakan batas batas negara dg perbedaan perbedaan yg melekat, tidak penting barang itu berasal dari produksi dalam negeri atau impor, yang penting murah dan konsumen happy atau diuntungkan.

Aturan dan perjanjian perjanjian yang dihasilkan dalam rangka implementasi globalisasi yang awalnya di pelopori Amerika dan Inggris itu kini dirasakan merugikan atau memukul ekonomi nasionalnya dan lebih menguntungkan China. Kini Inggris dan Amerika cenderung ingin kembali ke ekonomi berdasarkan asas nasional dg mengakui kedaulatan ekonomi masing masing negara alias meninggalkan mazhab globalisasi. Tujuan atau alasannya agar lebih cocok dan sesuai dg kebutuhan dan tantangan ekonomi yg di hadapi negerinya. Tantangan2 itu terutama adalah bagaimana negerinya mampu menjadi produsen demi pertumbuhan ekonomi yg mampu membuka lapangan kerja. Buruh atau lapangan kerja dalam negeri harus di lindungi dari serbuan imigran dan buruh asing. Di lain pihak, buruh yg dilindungi itu tidak di izinkan meminta kenaikan upah minimum agar bukan saja tidak memberatkan produsen tetapi juga tidak merangsang masuknya buruh murah.

Produsen di dalam negeri tidak boleh terhalang oleh perjanjian-perjanjian dlm rangka globalisasi baik trade, investment, perdagangan, lingkungan dll. Dengan demikian serbuan barang impor yg menghantam industri lokal harus di batasi melalui bea masuk yg mampu memberi perlindungan terhadap kelangsungan industri dalam negeri. Inggris dan Amerika akan mencegah negerinya dijadikan pasar konsumen barang impor dg dalih lebih murah. Investasi didalam negeri baik dari investor lokal maupun asing akan di utamakan.

Prinsipnya adalah kepentingan nasional akan didahulukan.

Semua perjanjian atau ikatan internasional yg merugikan ekonomi nasionalnya atau melemahkan kemandiriannya, akan di hapuskan. Nampaknya Inggris dan Amerika percaya bahwa sistem ekonomi nasional suatu negara tidak bisa dipisahkan dg sistem politik nasionalnya. Sekurang kurangnya sepanjang kesatuan atau sistem politik negara negara itu masih berbeda beda, tidaklah mudah untuk menyatukan sistem ekonominya secara adil dan stabil. Perbedaan itu memang sunnahtullah dan nyata. Barangkali karena itulah maka Inggris dan Amerika kini kembali mengusung nasionalismenya masing-masing dengan membawa semangat kemandirian.

Sementara Indonesia kini menjadikan prinsip Trisakti Bung Karno atau swasembada pangan Pak Harto hanya slogan slogan kampanye politik.

Wallaahu a’lam bishawab.
Fuad Bawazier, 26 Januari 2017.

(Sumber : Republika.or.id dan WA Groups)

Nyali Mengambil Keputusan

Nyali Mengambil Keputusan

Oleh : Elia Massa Manik, Direktur Utama PTPN III Holding
 —–

Untuk menguak permasalahan, saya menggunakan cara turun ke lapangan. Hampir setiap hari, saya mengunjungi satu persatu perkebunan untuk berkomunikasi dengan karyawan yang berada disana. Lainnya, saya juga selalu memberikan contoh untuk terus belajar. Hal ini saya tularkan kepada seluruh karyawan.

Tahap kedua adalah menerapkan speed dalam bekerja, Mengubah kultur VOC, bikin rileks dan tidak merasa intimidasi. Dengan begitu mereka akan mempunyai semangat kerja.

Terakhir, adalah keberanian untuk memutuskan kebijakan. Harus punya nyali untuk memutuskan daripada diam terus. Ini merupakan hal penting bagi seorang pemimpin untuk dapat menentukan akan dibawa kemana perusahaan yang dipimpin.

Saya sendiri menargetkan PTPN III dapat melakukan pengolahan dari hulu sampai hilir. Artinya perusahaan ini tidak hanya menjual kelapa sawit tapi juga bisa memprosesnya menjadi CPO dan produk turunannya lainnya sampai menjadi produk branded, seperti minyak goreng dan lainnya.

Makanya, saya berencana untuk membuat tim riset and development. Setelah saya hitung, butuh modal sekitar Rp 2 triliun untuk men-set up tim tersebut. Saya berencana, tim ini nantinya bakal terintegrasi untuk mendukung bisnis seluruh PTPN.

Sekarang saya baru mendatangkan satu ahli karet untuk membantu membenahi masalah. Karena sampai sekarang perusahaan masih terus mendulang rugi karena tingginya harga karet. Saya juga berencana melakukan efisiensi pabrik gula. Rencananya, kami bakal menutup sejumlah pabrik yang sudah tidak efisien karena, kapasitas produksinya rendah.

Yang jelas, perlahan tapi pasti, PTPN III mulai bangkit. Sampai akhir tahun total operating cash flow mencapai Rp 600 miliar dari tahun 2015 yang hanya Rp 100 miliar. Dan, bulan September, perusahaan sudah mampu mengantongi keuntungan 1,5%. Ini prestasi karena selama empat tahun kinerja perusahaan selalu merah.