Bapak saya almarhum adalah seorang purnawirawan. Kegiatan beliau setelah purna tugas adalah menjadi Ketua LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) dan juga merangkap Ketua RW. Tradisi perayaan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan atau lebih populer disebut Águstusan adalah salah satu kegiatan yang menjadi kesibukan beliau setiap tahun.
Tahun itu seperti biasa kecamatan mengadakan lomba karnaval, gabungan antara karya seni, atraksi dan gerak jalan antar desa. Oleh kepala desa, Bapak diberi amanah sebagai ketua tim desa. Beliau tertantang. Masalahnya, ternyata dana yang disediakan pihak desa tidak banyak, alias cekak. Ingin tampil bagus tapi uang tidak ada. Yah… nasib.
Bapak tidak menyerah. Beliau memutar otak, mencari jalan. Dikontaknya salah satu kenalan beliau, seorang dosen IKIP Malang untuk membantu. Namanya Pak Oediono. Dari hasil berdiskusi dengan Pak Oediono muncullah ide untuk membuat miniatur Burung Garuda. Ukurannya lumayan besar, lebih dari tinggi badan saya ketika itu. Saat itu saya masih duduk di kelas 1 SMP.
Bahan utama rangka burung Garuda dari bambu. Isi dan kulitnya dari kertas semen yang direndam air dan diberi kanji, tepung tapioca yang dicairkan dengan air panas bisa menjadi lem perekat. Alasnya juga dari bambu. Setelah jadi miniatur burung garuda itu terlihat sangat gagah, tetapi ringan tidak berat. Untuk membawanya cukup dipanggul oleh 4 orang.
Untuk tim gerak jalan pesertanya adalah tim ibu-ibu. Pelatihnya, Bapak sendiri. Penghematan. Untuk baju seragam tim gerak jalan dicari baju yang paling banyak dimiliki. Tentu saja paling banyak dipunyai adalah atasan warna putih dan bawahan hitam. Biar tidak terlalu polos maka disepakati menggunakan asesoris tambahan. Dan pilihlah hasduk atau dasi pramuka yang merah dan putih yang biasa dipakai anak-anak sekolah.
Yang tak kalah menarik adalah sutau ketika saya dibonceng Bapak dengan Zundaap (motor roda 2 yang bisa dikayuh seperti sepeda) untuk menemui waker. Waker adalah orang yang diberi amanah menjaga kebun tebu. Kebun itu milik salah satu pabrik gula ternama di Malang. Beliau ternyata meminta tebu sekira 100 batang dari waker. Tebu dipilih yang lurus. Alhamdulillaah diluluskan, bahkan diberi lebih.
Saya bersama beberapa kawan diminta Bapak untuk mengangkut dari kebun tebu ke halaman rumah. Sepanjang jalan kami pun bertanya-tanya untuk apa batang-batang tebu ini. Kebingungan kami semakin menjadi, ketika tebu-tebu itu dibersihkan dan dipotong 1,5 meter-an.
Kami anak-anak memperhatikan tanpa berkedip. Ujung tebu itu selanjutnya dilancipkan dengan memakai pisau besar yang di kampung saya disebut bodeng. Setelah bersih dan rapi batang tebu itu kemudian diberi bendera dari kertas minyak berwarna merah dan putih.
Kami pun melongo. Oooo… bambu runcing. Bedanya bambu ini dari tebu. Kami semua tertawa ceria melihat bambu runding dari tebu itu.
“Le, nanti kalau kalian haus. Bisa dimakan itu tebunya ya. Tapi kalau bisa, hausnya ditahan setelah panggung kecamatan,” begitu pesan Bapak sambil tersenyum.
Saya baru paham. Bapak melakukan terobosan agar tidak perlu repot menyediakan minuman dan makanan kecil bagi para peserta karnaval. Jika kami haus saat usai karnaval, ‘bambu runcing’ itu bisa kami makan. Caranya dengan dikerokoti (baca: dikupas dan dipotong pakai gigi). Tebu memang berenergi. Rasanya manis dan menyegarkan. Wah…. benar-benar cost killer yang cerdas.
Masalah belum selesai. Pakaian saat defile bagaimana? Kata Bapak, karena konsepnya perang gerilya, maka teman-teman seusia saya atau paling besar masih SMA, diminta memakai baju sehari-hari. Tidak perlu seragam. Paling ditambah sarung atau asesoris yang ada di rumah. Rakyat berjuang ketika itu memang nggak pakai seragam toh? Benar juga.
Tahun itu desa kami juara karnaval se-Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. Seingat saya tiga tahun berturut-turut desa kami juara karnaval se-kecamatan.
Bapak saya almarhum melakukan cost killer dengan menyiasati resources yang minim. Hasilnya justru di luar dugaan. Alih-alih sekedar meramaikan Agustusan, kami malah jadi juara dan perhatian se-Kabupaten Malang. Kami bahagia dan bangga.
Catatan:
Mengenang Almarhum Kapten (Purn.) Djohariman, veteran Perang 10 November 1945, Operasi Dwikora 1964, dan Operasi Trisula 1968.