Sampah vs Akhlak
Oleh: Hibatullah Ramadhana *)
Teriknya matahari di Kota Surabaya mulai terasa, menandakan telah usainya acara yang kami ikuti. Saya dan 12 orang teman lainnya memutuskan untuk Sholat Dzuhur dan istirahat sejenak. Pelatihan 3 hari yang melelahkan, namun sangat bermanfaat. Kami sepakat melepas penat sekaligus kembali ke kampus. Kami pun memutuskan menuju pantai selatan yang jadi buah bibir selama ini. Pantai itu bernama Pantai Mutiara terletak di Kabupaten Trenggalek.
Perjalanan dari Surabaya ke Trenggalek berjarak sekitar 200 Km. Kami menempuh pejalanan via Tol Trans Jawa dan keluar/exit di Kediri. Perjalanan melewati jalan biasa sangat berbeda di bandingkan melalui jalan tol. Kami juga melewati jalur lintas selatan (JLS) yang sesuai pemberitaan, sangat indah. Kami sampai di lokasi pada malam hari.
Kondisi sudah larut malam, tidak menyurutkan kami untuk menikmati indahnya alam. Kami bermalam di sebuah gazebo yang ada di tepi pantai. Tidur beralaskan karpet sederhana, cukup untuk meluruskan badan dan kaki. Keesokan paginya, kami disambut suara kokok ayam dan deburan ombak yang menyentuh bebatuan. Udara segar di pagi hari, pemandangan pantai disertai arunika yang tak kalah indahnya. Laut tampak biru dengan ombak khas Pantai Selatan. Semua itu karunia tersendiri sekaligus obat penat yang kami alami.
Karunia? Ya, betul. Pagi itu membuat kami sadar akan betapa besarnya kuasa Allah Tuhan semesta alam. Sang Khalik telah menciptakan keindahan alam ini, agar kami banyak bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Karunia yang lain masih ada. Saat itu Hari Ahad, hari libur, yang terlihat banyak orang yang menghabiskan waktunya di pantai bersama orang yang mereka cintai. Mereka juga menikmati makanan dan fasilitas yang ada di pantai. Sama seperti kami. Kami yang hadir juga membawa manfaat ekonomi bagi warga sekitar.
Namun, setelah kami berjalan beberapa langkah ke bibir pantai, ada pemandangan yang tak elok. Hal ini terlihat dari kondisi pantai yang sangat indah, ternodai oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Mereka kurang sadar akan kelestarian alam. Banyak sampah berserakan. Belum lagi, terlihat tidak sedikit dari mereka yang membuang sampah sembarangan. Tak heran jika sampah ada di beberapa sudut pantai. Padahal ada tempat sampah yang disediakan. Tak ayal membuat kondisi pantai menjadi kotor dan kurang nyaman.
Perilaku ini bisa jadi adanya mindset yang timbul pada masing-masing individu yang berpikiran:
“Ah, saya kan hanya membuang satu botol atau satu bungkus makanan. Cuma sedikit, kok.”
Padahal justru pemikiran itu yang harus dihapus. Bayangkan jika pemikiran dan perilaku itu, serupa dimiliki oleh pribadi atau individu yang lain. Jika satu orang punya pemikiran seperti itu memang, menurut dia, dia hanya membuang satu sampah. Namun apabila yang ada di pantai tersebut berjumlah ribuan orang dan mempunyai mindset yang sama, sebanyak itu pula sampah yang mereka buang sembarangan. Tak heran, jika kondisi pantai nampak kotor. Ada sampah bekas botol minuman. Bekas bungkus makanan.
Tentunya sebagai manusia, harus punya akhlak terhadap alam. Apa itu akhlak terhadap alam? Membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya. Jika tidak ada tempat sampah, maka dikantongi dulu. Tidak merusak pepohonan. Menghindari membuang hajat sembarangan. Tidak membawa pasir atau terumbu karang sembarangan. Hal-hal tersebut adalah upaya menjaga menjaga dan melestarikan keindahan alam. Alam juga ciptaan Allah SWT.
Bagaimana menghadapi pantai yang kotor dihadapan kita? Tentunya yang paling utama adalah kita yang berakhlak mulia tidak lagi menambah atau membuang sampah. Sampah di depan kita dipungut dan dikumpulkan, sebisa mungkin.
Semoga sampah yang ada di pantai atau di sekitar kita bisa menjadikan cerminan akhlak kita. Mari kita basmi sampah dengan memulai untuk tidak menyampah sembarangan. Kita bersihkan sampah. Kita lestarikan alam. Kita tunjukkan bahwa kita memang bangsa yang berakhlak mulia.
*) Hibatullah Ramadhana atau lebih dikenal dengan Ibat. Ia adalah mahasiswa Semester I, Prodi Manajemen Bisnis, FEB Universitas Darussalam, Gontor, Ponorogo.