Malam itu setelah sholat isya’ berjamaah di masjid di bilangan Kebayoan Baru, saya meluncur ke salah satu hotel di Senayan. Memenuhi janji untuk bertemu dengan Prof. Bisri, Rektor UB. UB itu sebutan untuk Universitas Brawijaya, salah satu PTN yang namanya mulai mendunia karena prestasinya. Saya sudah meminta bertemu sejak lama, namun karena kesibukannya, beliau baru berkenan malam ini bertemu disela pertemuan dengan koleganya sesama rektor se-Indonesia di Jakarta.
Saya tidak sendiri, beberapa teman juga akan turut berdiskusi. Pada intinya adalah menyampaikan beberapa program ikatan alumni yang akan digulirkan dalam waktu dekat. Saya juga punya agenda untuk menyisipkan keinginan unit bisnis yang diamanahkan kepada saya untuk bekerja sama dengan UB. Malam semakin larut, dan beliau akhirnya dapat bersua dengan kami sekira pukul 10 malam. Tidak nampak keletihan di wajahnya. Beberapa program disampaikan dan ditanggapi, seperti biasanya, dengan antusias dan berenergi, gaya khas Pak Bisri.
Pada kesempatan ini, saya akan coba ulas salah satu ide brilian yang kebetulan juga hasil karya beliau, injection well. Sumur injeksi ini bukan seperti pada industri migas. Desainnya berbeda. Sumur yang dimaksud adalah sumur resapan. Idenya adalah menginjeksi air hujan kepada tanah. Desainnya sederhana, seperti sumur jaman dulu. Diameter sekira 1-1.2 meter, disesuaikan dengan ukuran buis beton agar praktis. Kedalaman 10-15 meter. Pada dinding dasar dapat tetap tanah atau bata. Dasar sumur ditambahkan kerikil dan pasir. Oh ya, ada satu tambahan lagi, tangga untuk perawatan dan safety. Penutup dibuat dari beton dan tentu saja diberikan lubang masuknya air. Daya tampung bisa hampir setara mobil tangki isi 8 ribu liter.
Pak Doktor Bisri yang kebetulan juga Takmir Masjid Jami’ Malang telah menerapkannya dengan menggali sumur di sekeliling masjid. Galian seperti tabung ke dalam tanah itu menampung air dari saluran setelah wudlu. Beliau juga mengaplikasikan temuannya di Kampus UB. Beliau membuat 15 injection well. Segera setelahnya digali 20 tempat resapan lagi. Lumayan, mengurangi dampak genangan air ketika hujan sekaligus sebagai tabungan air bagi sumur sekitar. Maklum, kampus seluas 220 Ha itu saat ini berdiri puluhan gedung kuliah dan fasilitas pendukungnya untuk menampung sekira 50 ribu mahasiswa. Ketika hujan lebat datang, beberapa area menggenang. Menurut penuturan Guru Besar di Bidang Teknik Pengairan itu, biaya pembuatan per sumur sekira 10-15 juta rupiah. Biaya yang relatif murah. Terlebih jika dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Wow.. salah satu terobosan dalam konservasi alam.
Kami akan menerapkan di Jabodetabek. Kami prihatin dengan kondisi kota yang mulai kesulitan air bersih, fresh water. Jangankan musim kemarau, musim hujan pun air ada yang tidak layak konsumsi. Sumur injeksi ini juga dimaksudkan menahan entrusi air laut dan mengurangi genangan air. Upaya membuat lubang resapan tersebut setidaknya mengurangi potensi banjir yang disebabkan guyuran hujan lebat. Pilot project akan dimulai di beberapa titik. Harapannya dapat diikuti oleh elemen masyarakat yang lain. Suatu saat menjadi aksi bersama dan menjelma menjadi Gerakan Menabung Air.
Saya jadi ingat seloroh salah seorang tokoh yang daerahnya kesulitan ‘mengelola’ air.
“Daerahku kuwi, yen ketigo ora iso cewok, ning yen rendeng.. yo ora iso ndodok” (artinya : daerah saya itu, jika musim kemarau, masyarakatnya tidak bisa cebok karena kesulitan air. Namun, pada waktu musim penghujan pun, banyak orang tidak bisa jongkok, karena kebanjiran).
Semoga lambat laun kejadian seperti yang dilukiskan di atas, semakin sedikit. Pengelolaan air menjadi lebih bijak dan moderen. Gerakan Menabung Air menjadi salah satu solusinya.