Malam itu saya menyempatkan bersilaturahim ke seorang sahabat. Dalam perjalanan saya ditemani sopir taksi. Pria berbadan sedang ini punya 3 anak yang memasuki masa kuliah. Pembicaraan mengarah kepada kesulitan ekonomi yang mulai dirasakannya.
“Waduh Mas, narik taksi sekarang berat (baca : sering tak dapat setoran). Eee.. baru-baru ini ada kabar ada group taksi besar yang mau masuk. Gimana itu menurut, Mas ?” tanyanya di tengah diskusi. Sembari menyebut nama group taksi yang sudah go public itu.
“Jelas wis, saya tambah susah. Penumpang bisa pindah milih dia”, begitu sergahnya tanpa menunggu jawaban.
Menarik dan berat materi perbincangan malam itu. Saya pun penasaran menanyakan kenapa dia khawatir, yang berpotensi menurunkan penghasilannya. Dan pada akhirnya, ia bisa tidak berdaya dan mengakibatkan perusahaan tempatnya bekerja juga bisa tutup.
“Terus terang ae, Mas. Aku lihat di tivi, mobilnya bagus-bagus, terawat. Terus katanya, sopirnya sopan dan ramah. Lha, taksiku ini, mobil yang tergolong oke, beberapa saja. Tergantung sopir yang ngerawatnya. Sopir sing mbeling (Baca : nakal) masih banyak. Kalah banyak aku, Mas”, cetusnya sembari geleng-geleng kepala. Matanya tetap menatap ke depan.
Ternyata sang pengemudi ini telah mendeskripsikan indikator pelayanan agar dapat memenangkan persaingan. Saya pun berempati sembari mencoba bertukar pendapat.
“Lho, njenengan kan bisa juga tho. Sekarang saja, sudah sopan dan ramah. Tak lihat mobil lumayan bersih. Tapi memang beberapa perlu di lap lagi. Plus bau rokok harus hilang. Maklum saya nggak suka rokok. Ini memang bisa mengurangi kenyamanan. Bisa diatasi pakai pewangi. Tapi, preventifnya, ya.. jangan merokok di dalam mobil pas istirahat”, saya mencoba menilai kenyamanan taksinya. Ia pun nyengar nyengir saja. Nampaknya, bapak ini tahu kelemahan yang bisa mewujudkan kekhawatirannya.
Persaingan itu keniscayaan. Kompetisi dapat memicu perubahan dan perbaikan. Di sisi lain, kompetisi punya ciri khas mengalahkan yang lain. Ibarat sepakbola, ada klub yang promosi, degradasi, bahkan gulung tikar.
Namun, dalam konteks pertaksian ini, menurut hemat saya juga patut didengar kekhawatiran bapak 3 anak tadi. Bisa saja perusahaan besar menggandeng perusahaan lokal. Atau cara lainnya, dengan membidik segmen pasar yang berbeda. Masih mungkin dilakukan, walaupun bukan perkara mudah upaya membendung pertumbuhan perusahaan. Keinginan tumbuh dan berkembang memang menciptakan peluang sekaligus persaingan baru.
Di lain pihak, kekhawatiran bisa jadi peluang berbenah. Harus ada terobosan. Persatuan driver mulai berkumpul membicarakan acuan pelayanan yang baik. Perilaku driver pun harus dibahas baik dari sisi fisik hingga bagaimana mengendarai yang baik. Bila perlu mengundang trainer pelayanan paripurna. Trainer Service Excellence. Standrad kendaraan yang laik jalan disepakati, bila perlu kendaraan perusahaan yang ternama sebagai benchmark.
Masih ada jalan sebelum waktunya tiba. Begitu terjadi, setidaknya sudah siap menghadapi dengan gagah. Jangan mau kalah. Karena kalau tidak, bisa benar-benar tergilas. Akibatnya pun fatal. Bapak tadi bisa menambah daftar pengangguran negeri ini.