Persaingan, Siap atau Tidak, Akan Tetap Ada
Di dalam kehidupan ini persaingan adalah keniscayaan. Masih ingatkah kita dengan kisah dua anak Adam yang bersaing menjadi yang terbaik? Tragis memang akhir kisah itu. Salah seorang dari mereka akhirnya terbunuh. Tetapi kisah itu membuka mata kita bahwa persaingan sudah ada semenjak kehidupan ini bermula. Dan ujung dari persaingan itu adalah meninggalnya salah seorang dari dua anak Adam.
Charles Darwin sang penemu teori evolusi juga telah mengemukakan bahwa selalu ada persaingan di dalam kehidupan di alam semesta ini. Hal ini karena setiap makhluk ingin mempertahankan kehidupannya. Dan hanya spesies yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkunganlah yang akan bertahan. Yang kalah bersaing dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan akan lenyap dari bumi.
“It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is most adaptable to change”.
(Charles Darwin)
Persaingan akan selalu ada di setiap sektor kehidupan. Dalam dunia bisnis? Apalagi! Pertarungan untuk menjadi yang terbaik dalam bisnis layaknya masakan dengan garam. Tanpa kehadirannya, terasa hambar. Bahkan perusahaan yang tanpa pesaing akan kehilangan gairah, loyo. Dan akhirnya pelan-pelan akan hilang dari peredaran.
Setiap pemilik perusahaan atau tim leader, akan selalu berusaha agar timnya menjadi jawara. Untuk itu berbagai upaya dilakukan. Bisa market share yang bertambah. Ada juga dengan penetrasi pasar, agar seluruhpelosok negeri mengenal produknya. Dan ada juga yang menggunakan cara perbaikan produk. Perusahaan membuat produk yang unik dalam jumlah terbatas. Sedikit tapi tetap dicari. Limited edition. Upaya-upaya itu semua dilakukan agar mereka memenangkan “pertempuran” atau sekurang-kurangnya tetap bertahan.
Siapa yang kalah, produknya tidak laku. Penjualan tak beranjak naik. Atau malah cenderung turun. Tanda-tanda kematian sudah tampak. Jika tidak ada perubahan yang significant, sudah dapat dipastikan perusahaan akhirnya gulung tikar. Mati.
Dampaknya kekalahan sebuah perusahaan pasti cukup dahsyat. Pemutusan hubungan kerja tidak dapat dielakkan. Daftar pengangguran bisa bertambah panjang. Pasti akan timbul masalah baru. Baik masalah dalam ruang lingkup yang kecil, keluarga. Bisa juga dalam skala yang lebih besar. Ekonomi di dalam masyarakat sedikit terguncang. Jumlah belanja akan menurun. Ada penghematan baik dari frekuensi maupun nominal belanja. Suka tidak suka. Stok bisa menumpuk. Produsen juga mengerem produksinya. Jika berlangsung lama, maka banyak idle capacity. Kalau sudah begitu, pengurangan produksi. Pengurangan karyawan. Jadi, kalah dalam bersaing menciptakan pengangguran yang bisa menjadi beban ekonomi baru.
Setiap perusahaan akan selalu melakukan berbagai upaya. Perubahan strategi. Penemuan teknologi baru. Dan yang tak kalah pentingnya adalah pembenahan manusia, motor penggerak utama perusahaan. Apalagi dalam ruang lingkup Manajemen Rantai Pasokan. Supply Chain Management. Proses bisnis yang kompleks, di samping mengurusi dengan internal pelanggan dan pemasok. Di dalamnya juga sangat intens berhubungan dengan pihak eksternal, baik dengan pelanggan dan dengan pemasok/vendor.
Uniknya, pola persaingan mulai bergeser, sesuai zamannya. Tidak lagi yang besar mencaplok yang kecil. Atau yang kuat mengalahkan yang lemah. Salah seorang Raja Media, Robert Murdoch, mengatakan:
“The world is changing very fast. Big will not beat small anymore. It will be the fast beating the slow”.
Benar juga. Dulu memang sering kita lihat perusahaan besar mencaplok perusahaan yang lebih kecil. Baik untuk memperbesar pangsa pasar atau strategi mematikan mereknya. Sebagai contoh kasus, ada perusahaan kecap dengan merek yang dikenal secara lokal (area cakupannya hanya se provinsi), dibeli salah satu raksasa bisnis di bidang consumer goods. Lama-lama merek pun tak nampak di pasar. Ia sengaja dibeli untuk dimatikan mereknya. Merek pembeli sebagai penggantinya. Ada yang namanya tetap, namun strategi bisnis dan lainnya diubah total. Ia tetap berkibar namanya meski pemilik telah berganti.
Akhir-akhir ini perusahaan-perusahaan mapan tak lagi bisa lagi hidup tenang. Pesaing bisa berupa perusahaan yang baru lahir. Contoh kasusnya adalah sebuah perusahaan tranportasi konvensional berhadapan dengan perusahaan tranportasi berbasis teknologi informasi. Perusahaan besar dan mapan itu cenderung lambat merespon perubahan yang terjadi. Tak terelakkan, pengemudinya pun berdemo. Tak jarang terjadi konflik di lapangan. Pemicunya, tak lain tak bukan, karena tidak siap dengan persaingan. Kalah cepat mengaplikasikan teknologi. Kurang sigap melihat kebutuhan dan kecenderungan konsumen. Ini bumbu tak sedap lainnya. Intinya, yang cepat mengalahkan yang lambat.
Contoh lain, perusahaan catering, juga mulai bergeser polanya. Dominasi tidak lagi oleh perusahaan dengan asset besar. Saat ini, ada perusahaan yang tidak memiliki dapur sendiri sudah mulai menggerogoti pangsa catering besar. Perusahaan ini bermodalkan teknologi informasi dan prinsip ekonomi berbagi. Ia menggunakan dapur para jago masak di berbagai rumah tangga. Sang CEO perusahaan itu jeli. Ia tahu banyak ibu-ibu yang jago masak. Sebagian juga senang jika masakannya dijual dan dimintai. Ia memberikan standarisasi masakan. Ia memberi packaging yang menarik. Ia pooling produk itu sesuai pesanan pelanggan. Produk diantar dan siap saji. Punya usaha catering, tak harus punya dapur kan ?
So, pemenang persaingan punya syarat tambahan. Ia harus cepat dalam segala hal. Adaptasi, penguasaan teknologi, cepat menangkap perubahan pelanggan, dan lainnya. Itu semua juga perlu dukungan sumber daya manusia yang handal. SDM yang mendukung kecepatan. Ya, sumber daya manusia. Manusia yang punya daya dukung dan daya juang tinggi akan sangat membantu daya tahan perusahaan. Bak pendekar, ia pilih tanding. Ditempatkan di mana saja, ia sanggup dengan cepat beradaptasi dan segera berkontribusi.
Tersadar?
Tertantang?
Sahabat, saya ajak menyimak buah pikir lain dan lebih dalam, pada buku yang akan segera terbit.
Mohon doanya.
Wassalaam,
#this.is.ariway