Menggali yang Tersembunyi
by Ari Wijaya
Malam itu kami ngobrol santai tapi serius. Saat itu ada salah seorang rekan yang harus dirawat di rumah sakit. Kami bergantian menjaga. Yoyok teman sekosnya bersama saya, kala itu yang berkesempatan menjaga. Saya sering main dan numpang tidur di kos mereka saat ada jeda kuliah. Saat jadwal kuliah ada dua dan berjauhan, kelas pagi dan sesi siang setelah dhzuhur, biasanya saya tidak pulang ke rumah. Hemat ongkos. Saya mampir tempat kos mereka.
Yoyok ini salah satu mahasiswa yang punya potensi terkena degradasi saat evaluasi tahap pertama. Ada aturan, jika mahasiswa tidak mencapai IPK (Indkes Prestasi Kumulatif) minimal 2,0 (dua koma nol) pada akhir semester IV, maka dengan terpaksa mahasiswa tersebut terkena DO (drop out). Tidak bisa melanjutkan kuliah lagi di kampus yang sama. Yoyok masuk daftar ini. Malam itu saat ada kesempatan berduaan, saya mencoba menguatkan semangat dan daya juangnya.
“Aku ini nggak semangat kuliah. Kampus ini bukan pilihan utamaku,” keluh Yoyok ditengah obrolan kami.
Yoyok menuturkan bahwa ia sempat berpikir untuk mencari kampus lain sesuai pilihan hatinya. Semester 2 ia mencoba di Bandung. Ketika kuliah sudah berjalan 4 semester, ia juga mencoba di Denpasar. Jurusan yang ia minati adalah Seni Rupa & Desain. Namun restu orang tua tak pernah ia peroleh. Saat tahun ketiga kuliahnya di Teknik Mesin, saat mau mencoba lagi, barulah ia sadar. Terlalu besar kerugiannya. Segi waktu, umur dan juga biaya.
“Ya, tapi kan takdirnya sudah begitu. Niat untuk pindah ada. Tapi restu orang tua patut jadi pertimbangan. Brawijaya kayaknya sudah menjadi jalan. Bukan pilihan yang jelek. Kalau mau pindah lagi, biaya juga lebih besar. Belum lagi harus mengulang. Banyak yang hilang,” saya coba memberi pertimbangan atas kegundahannya itu.
Yoyok sebenarnya punya kemampuan unik. Lain dari pada yang lain. Literasi komputernya melebihi yang lain. Penguasaan Bahasa Inggrisnya juga di atas rata-rata. Setidaknya pembandingnya adalah saya sendiri. He..he..he..
Saya mencoba menggali lebih jauh kelebihan itu. Ia boleh terpuruk dengan mata kuliah Kalkulus, Mekanika Teknik, Fisika, Pengetahuan Bahan atau yang lain, tapi dalam 2 hal itu, saya melihat ia lain.
“Yok, kalau kamu harus les dengan biaya lumayan besar, 600 ribu satu paket, misalnya. Apa sampeyan siap. Apa orang tua mendukung?” ujar saya.
“Insya Allah, bisa diusahakan, Nyo”, begitu jawabnya. Saya ketika itu punya panggilan “Sinyo”. Entah apa yang melatarbelakangi sebutan itu.
Singkat cerita ia mengambil kursus yang saya sarankan. Masih in-line dengan jurusan Teknik Mesin. Kursus AutoCAD. Literaturnya masih bahasa sononya, Bahasa Inggris. Tempat kursus hanya ada di Surabaya, kota asalnya. Jadwal juga bisa fleksibel. Kebetulan mata kuliah yang ia ambil juga sedikit. Ada 2 atau 3 hari lowong, tidak ada kuliah. Lagian, bolak-balik Malang-Surabaya bisa diatur jadwal sembari pulang ambil jatah bulanan. Sebagai gambaran, uang kuliah kami ketika itu Rp. 120 ribu per semester. Biaya paket pelatihan dan juga transportasinya, bisa untuk membayar uang kuliah hampir 3 tahun.
Yoyok yang gemar bernyayi dan pendaki gunung ini pun, mengambil pelatihan hingga advance level. Alhamdulillah, ia berhasil menjadi salah satu rujukan teman-teman ketika ada kesulitan mata kuliah AutoCAD atau Mesin NC/CNC (computer numeric control). Setelah ia lulus, modal itu pun menjadi nilai lebih baginya. Awalnya ia bekerja sebagai Project Engineer pada sebuah perusahaan di bawah Bangun Tjipta Group. Selanjutnya, ia memutuskan untuk berkarya ke Alstom Power di Surabaya. Perusahaan itu pula yang membawanya ke Negeri Paman Sam, ketika ada tawaran posisi Mechanical Engineer di Alstom Power Inc, Connecticut.
Beberapa tahun setelahnya, sejalan dengan penggabungan atau lebih tepatnya program akuisisi Alstom oleh GE, ia pun saat ini menjadi bagian keluarga besar GE. General Electric, perusahaan yang pernah dipimpin ‘manajer abad ini’, Jack Welch. Saat ini ia dipercaya sebagai Lead Engineer Fabricated Component, pada unit usaha GE di Windsor, Connecticut, Amerika Serikat.
Sahabat saya ini telah menunjukkan bahwa kompetensi yang unik perlu diperjuangkan. Hasilnya pun mulai ia petik, menjadi orang pilihan.
Memang benar kata Jon Stewart, salah satu aktor dan pembawa acara telivisi yang multi talenta, bahwa pada zaman ini, kecakapan adalah komoditas yang jarang.
“Love what you do. Get good at it. Competence is a rare commodity in this day and age“.
Sahabat, mau seperti itu ? Punya keahlian dan ketrampilan yang unik. Menjadi orang pilihan ?
Mari menggali yang tersembunyi dalam diri kita.
Ingin tahu lebih jauh ?
Insya Allah akan terbit buku terkait bagaimana memenangkan persaingan, pada bulan Agustus 2018. Kisah Yoyok adalah satu dari isi buku itu.
Mohon doanya agar tidak ada kendala berarti dalam prosesnya.
Semoga ide dan isi bukunya dapat menginspirasi Indonesia !