Manajemen Produksi untuk UMKM

Manajemen Produksi untuk UMKM

 

Menjalankan usaha agar dapat  bertahan dalam persaingan, termasuk usaha yang berskala mikro, perlu dilakukan beberapa bidang pengelolaan. Pengelolaan atau manajemen yang diperlukan:  administrasi, sumber daya manusia, pengelolaan operasional/produksi, dan juga pemasaran. Semuanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Tapi harus dilakukan bersamaan. Semakin berimbang, semakin ideal dan bagus.

Pengelolaan administrasi diantaranya adalah pencatatan, baik rekap order, pembelian bahan baku, keuangan, dan masukan/kritikan pelanggan. Pengelolaan sumber daya manusia. Lha kalau semua saya kerjakan sendiri, tetap saya harus dipisahkan. Berapa lama merekap order. Berapa lama waktu dibutuhkan saat membeli bahan baku. Butuh waktu saat mengolah bahan baku menjadi produk jadi, Dan seterusnya. Kenapa penting? Karena saat kita membutuhkan bantuan orang lain atau asisten, sudah diketahui butuh berapa. Manajemen pemasaran juga perlu ditata. Apa dilakukan mandiri atau dijalankan orang lain? Pakai media apa? Frekuensi berapa kali melakukan iklan, dll.

Bagaimana dengan manajemen produksi? Ini yang coba lebih dikupas lebih dalam. Pengelolaan produksi atau manajemen operasional pada dasarnya merupakan proses pengubahan bahan mentah menjadi produk atau jasa yang diinginkan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Jadi kalau membuat susu jahe instan, maka bagaimana mengolah susu, jahe dan guka menjadi produk yang diinginkan pelanggan. Tentu perlu keputusan-keputusan yang diambil agar barang dan jasa yang diproduksi memiliki nilai jual. Pemilik usaha yang menentukan suatu tingkat produksi yang dapat memberikan keuntungan lebih dengan meminimumkan biaya produksi. Disinilah bagiamana pentingnya menentukan bahan baku seperti apa yang akan dibeli dengan memaksimalnya dalam proses produksi. Mustahil usaha membuat barang jadi bisa berjalan jika tidak ada bahan yang memungkinkan dalam proses produksi itu sendiri. Banyak pendapat terkait manajemen produksi yang dapat dilakukan supaya usaha mikro yang ada tetap dapat berjalan dan berkembang lebih besar kedepannya:

  1. Bahan Baku

Produk jadi bisa memanfaatkan bahan baku yang ada di sekeliling tempat usaha. Jika tidak ada, dapat dibeli dengan biasanya memanfaatkan bahan baku yang ada disekeliling mereka. Misal, kebun sendiri, bahan yang ada di rumah, dll. Ketika tidak ada bahan baku dari lingkungan sekitar, maka bisa membeli dari pasar terdekat.

  1. Mutu Produk

Sangat penting untuk selalu menjaga kualitas dari barang yang diproduksi supaya pelanggan tidak mudah ke lain hati, eh ke lain lapak. Pemeriksaan dengan teliti terhadap bahan baku, proses produksi hingga produk perlu dilakukan. Bisa secara random atau sampling, Bila perlu dan produksi tidak terlalu besar, pengecekan bisa dilakukan satu persatu.

  1. Persediaan/Stok

Persediaan adalah salah satu pemborosan. Menjaga stok produksi barang harus dilakukan agar sirkulasi uang tetap berputar dengan baik dan lancar tidak mengalami perubahan secara drastis. Kekurangan jumlah barang yang hendak dijual, karena akan membuat konsumen kecewa. Mereka bisa pindah ke produk lain. Bahaya ini. Menimbun stok barang, juga bisa mengkhawatirkan, sementara pelanggan belum bisa ditarik minatnya secara optimal. Uang mati istilahnya. Cash flow bisa berantakan.

  1. Pergudangan (Pindah/Simpan)

Proses penyimpanan stok produk jadi perlu perhatian supaya tidak mengalami kerusakan yang dapat menyebabkan produk tidak dapat dijual. Apalagi jika produk kita punya masa kadaluwarsa. Pemeriksaan dan perawatan berkala terhadap tempat penyimpanan barang perlu dilakukan secara berkala. Jika menggunakan freezer misalnya, perlu dicek bagaimana suhunya. Terlebih jika sering listrik padam di wilayah tersebut.

  1. Purna Jual

Layanan ini juga tidak boleh dilupakan. Konsumen yang telah berkenan membeli produk kita adalah kesyukuran. Keberadaan mereka perlu dirawat. Setidaknya jika ada keluhan dapat diresponse dengan cepat. Mendengar juga masukan untuk memperbaiki produk kita. Bisa masukan terkait produk, kemasan atau pengirimannya. Indikator yang relative mudah sebagai tanda bahwa produk kita diterima adalah ada pemesanan berulang dan meningkat. Di samping itu semakin luasnya masyarakat yang mengetahui tentang produk yang sedang di pasarkan.

Manajemen yang dapat diterapkan agar usaha dapat tetap berjalan bahkan berpotensi bisa berkembang menjadi lebih besar hanya dari usaha modal kecil yang ditekuni dengan serius.

 

 

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.

Stok Barang Mending Lebih atau Kurang?

Stok Barang Mending Lebih atau Kurang?

 

Pada kawasan sebuah kota tidak jauh dari Jakarta, ada beberapa WA Group yang berisi promosi dan pasar bagi komunitas. Ini salah satu upaya sesame warga untuk memromosikan produk dan bahkan bisa beli produk teman.

Suatu saat saya mendapatkan jawaban dari WA sebuah WAG UMKM.

“Pak, barangnya habis. Besok saya kabari”, begitu jawaban atas pesanan makanan yang saya pesan.

Padahal sekeluarga pingin banget merasakannya. Esoknya, saat ada tawaran, ternyata kita sudah mendapatkannya dari tempat lain.

Saya yakin, banyak yang mengalami hal seperti itu saat belanja lewat daring. Bagi penjual tentunya, tidak enak juga menolak permintaan pelanggan. Sayang banget. Banyak faktor kenapa stok tidak diperbanyak. Ada juga memang konsisten ingin menjual segitu saja. Habis jam berapa pun, ia tidak menambah produksi. Ia ingin menciptakan rasa penasaran, kpada pembeli. Namun, ada juga yang tidak siap bahan bakunya atau kemasan. Satu bahan kebanyakan. Bahan lain kurang. Faktor kedua ini yang perlu dipecahkan.

“Kadang kita buat 100 pak, tidak habis, Bingung juga mau dikemanakan. Eee.. pas buat lebih sedikit, orderan banyak banget. Kita nggak ada bahan”, salah seorang penjual menanggapi WA saya saat saya bilang bahwa saya sudah ada makanan yang kami minati.

Bagaimana supaya persediaan bisa memenuhi harapan pelanggan? Data memegang peranan penting. Persediaan yang tidak pas pemborosan juga. Semua order pasti dicatat. Baik dikertas, dilayar WA, dan sebagainya. Perlu dirapikan. Bisa saja diambil rata-rata dalam 1 bulan. Kemudian dilihat juga saat mana permintaan turun. Waktu apa permintaan naik.

Dengan data tersebut kita bisa melakukan perkiraan berapa kebutuhan pelanggan yang sudah bisa menerima produk yang ditawarkan. Data rata-rata penjulaan yang akan dijadikan patokan. Produk kita tentunya punya daftar bahan baku yang dibutuhkan. Itu biasa disebut bill of material (BOM). Ehm, singkatannya kok mengerikan. Boleh saja disebut BOMA. Bahan atau material yang dibutuhkan untuk merakit, mencampur atau memproduksi produk akhir itulah BOMA. BOMA akan menjadi alat pengendali produksi. Supaya persediaan baik bahan baku maupun produk akhir menjadi optimal. Lebih bagus lagi jika dalam BOMA juga disertakan toleransi produk catat. Misalnya dalam proses pengadukan, ada bahan yang tercecer dll. Toleransi yang kita berikan misalnya 1%, maka jika kita butuh untuk produksi normal bahan 100, maka dalam BOMA ditulis 100 + 1% atau sama dengan 101.

Sebagai contoh, membuat produk Suhu Jahe Instan 100 kg, dibutuhkan; susu bubuk 50 kg, bubuk jahe 30kg, gula aren bubuk 20kg. Karena ada toleransi bahan tercecer dalam proses produksi adalah 1%, maka pada BOMA ditulis:

Susu Bubuk : 50,5kg. | Bubuk Jahe: 30,3kg. | Gula Aren bubuk: 20,2 kg

Dari BOMA tersebutlah kita akan belanja.

Tapi saya pingin ada stok produk akhir, bagaimana caranya?

Stok atau persediaan, dalam contoh pembuatan susu jahe instan, maka perlu diperhatikan adalah batch atau kemampuan mesin mixer/pengadukan. Jika kapasitasnya 5-6 kg, maka sebaiknya persediaan adalah kelipatan mesin kita. Atau bisa juga kelipatan kemasan bahan baku. Namun, dalam proses produksi lebih diutamakan kapasitas mesin. Dalam proses pembuatan BOMA ini segala aspek yang berhubungan dengan keuangan perlu dicatat. Termasuk menghitung berapa biaya produksi.

Sehingga persediaan atau stok itu mending lebih atau kurang, tentunya bisa dijawab berdasarkan data. BOMA menjadi patokan atau acuan. Ini agar kita bisa menjamin bahwa jumlah bahan yang dibeli, produk akhir yang jadi bisa sesuai harapan pelanggan. Setidaknya kita mengurangi kekecewaan pelanggan karena kehabisa stok. Atau juga mengurangi biaya kita akibat persediaan yang berlebihan.

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.

Daya Tarik, Kemasan Menarik

Daya Tarik, Kemasan Menarik

 

Suatu saat ada rekan berjualan nasi rames. Ia memberikan pengumuman ke beberapa WA Group. Ia mengemasnya dengan bungkusan ketas coklat berlapis tipis plastik. Kebetulan masjid yang biasa menyelenggarakan acara kajian pagi, memesan nasi ramesnya. Kajian rutin setiap akhir pekan yang ditutup dengan sarapan bersama. Beberapa jamaah yang membuka bungkusan dan melahapnya. Ada yang dihampar dilantai dengan alas kertas bungkus. Ada yang dibuat seperti pincuk. Ada yang sibuk mencari piring ke ruang marbot. Ada yang mengurungkan sarapan bersama dan ijin membawa bungkusan sarapan ke rumahnya. Kemasan kertas itu pun ditenteng,. Jika ada tas plastik, ada yang membawanya dengan tas.

Pemandangan itu memancing beberapa diskusi. Menariknya, pemilik usaha juga ada di tengah-tengah peserta. Evaluasi juga dilakukan setelah acara usai. Beberapa panitia berkumpul sejenak. Salah satunya adalah terkait konsumsi. Diskusi dimulai dari porsi makanan dan ragam makanan.

Salah satunya yang mengernyitkan dahi pemilik usaha adalah perubahan packaging. Dia diminta mengubahnya, pakai kemasan kotak kertas atau plastik. Dilengkapi dengan sendok. Kenapa dahi berkerut? Jelas itu menambah biaya. Apalagi jika harga dipatok sama. Diskusi singkat diputuskan, bahwa kemasan diubah dan biaya kemasan ditanggung panitia. Penggantian ini bukan tanpa alasa. Ini memudahkan orang menikmati makanan. Potensi makanan berserakan di lantai diharapkan berkurang.

Pekan selanjutnya, makanan pagi itu hadir dengan beda penampilan. Hampir semua jamaah menyambut baik. Berdecak kagum atas peningkatan yang diberikan. Makanan di dalamnya pun tidak ambyar. Ada yang membawa pulang ke rumah juga dengan mudah. Ditenteng dengan mudah.

Dua hari berselang, Mas Bagus, sang pemilik bercerita setelah Sholat Maghrib tuntas.

“Pak, Alhamdulillaah, saya dapat order lumayan ini dari jamaah untuk acara mereka”, katanya mengawali obrolan dengan muka berbinar.

“Pemesan minta saya pakai kemasan kotak plastik seperti di masjid lusa. Katanya, menarik dan lebih rapi”, sambungnya.

Ternyata pelanggan itu melihat juga dari sisi estetika alias indah dipandang mata. Kemasan punya fungsi protektif dan juga promosional. Kemasan melindungi produk dari pergerakan saat berpindah tangan atau pindah lokasi. Kemasan untuk menarik perhatian kepada sebuah produk dan memperkuat citra produk. Ada juga memang dibuat dengan kombinasi kedua tujuan dari keduanya. Marketing dan logistik dimana kemasan menjual produk dengan menarik perhatian dan mengomunikasikannya. Hal ini yang ditangkap oleh salah satu jamaah tadi.

Philip Kotler, salah seorang Ahli Pemasaran di Dunia, pada bukunya Manajemen Pemasaran (1999) mengemukakan empat fungsi kemasan sebagai satu alat pemasaran alias marketing, yaitu :

  1. Potret Diri. Kemasan harus menarik, menyebutkan ciri-ciri produk, meyakinkan konsumen dan memberi kesan menyeluruh yang mendukung produk yang ada di dalamnya.
  2. Pemikat Pelanggan. Konsumen dengan sukarela membayar lebih mahal bagi kemudahan, penampilan, ketergantungan dan prestise dari kemasan yang lebih baik.
  1. Citra Usaha. Perusahaan atau usaha dapat dikenal kekuatannya dari kemasan yang dirancang dengan cermat dalam mempercepat konsumen mengenali perusahaan atau merek produk.
  2. Inovasi. Kemasan yang inovatif akan bermanfaat bagi konsumen, seperti kemudahan saat dibawa atau dikonsumsi. Hal ini juga memberikan keuntungan bagi produsen.

Penambahan kemasan yang menarik, tentu saja menambah biaya. Tapi biaya tersebut bisa ditutup dari hasil penjualan yang meningkat. Adanya promosi dari kemasan itu sendiri. Bisa saja mengurangi biaya promosi. Karena kemasan yang dibawa kemana-mana atau sedang berpindah tempat, telah menjadikan orang lain tahu dan tertarik.

 

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.

Memulai Jualan Jasa

Memulai Jualan Jasa

 

Tak sedikit orang yang memilih memulai jualan jasa. Bhakn ada yang sudah berancang-ancang saat masih bekerja normal. Menyiapkan diri dengan bekal ketrampilan tertentu.  Menurut beberapa orang yang telah menekuninya, ada alasan yang bisa dijadikan rujukan. Bisa dimulai kapan saja dan minim investasi peralatan. Betul juga.

Sebagai contoh. ada seseorang yang sehari-hari bekerja sebagai teknisi pemelihara gedung bertingkat. Ia biasa memperbaiki saluran air (plumber) baik saluran perpipaan air bersih kamar mandi hingga pembuangan limbah. Ia menguasai betul seluk beluk pipa dan air. Jika merawat gedung bertingkat yang lebih kompleks, maka untuk perumahan tumah tinggal bisa relatif lebih mudah.

Ia memulai dengan menawarkan jasa setelah lepas kerja. Terlebih saat akhir pekan. 1 hari saja. 1 hari lainnya betul-betul untuk istirahat. Promosi bisa dilakukan dengan mendompleng kepada rekan atau sejawat yang sudah punya usaha. Menjadi tenaga lepas atau job order. Tarif per jam bisa disesuaikan misalnya dengan UMR. Katakanlah Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta Rp. 4,3 juta, maka upah per jam adalah Rp. 25 ribu. Jika pekerjaan ringan selesai 4 jam, maka misal dipasang tariff Rp. 150ribu (sudah termasuk uang makan). Jika pekerjaan berat dan membutuhkan seharian, memasang tarif Rp. 250 ribu. Ilustrasi seperti itu dapat digunakan untuk menghitung tarif jasa.

Bagaimana jika sudah mulai order banyak dan kewalahan. Jika sudah mandiri, maka perlu mempersiapkan kader alias tenaga yang terampil dan handal sesuai dengan spesifikasi yang diminta pelanggan. Setidaknya, kemampuannya mirip orang yang tadi sudah dipercaya. Katakanlah grade A.  Ada beberapa cara:

  • Mendidik dari awal, tentunya perlu dihitung biaya pelatihannya. Bagaimana menentukan kualifikasinya. Misal jadi kenek dulu dengan fee yang 70% dari fee tukang grade A. Bagaimana dengan biaya pelatihan, bisa dipikul bersama karyawan atau dibiayai dengan metoda semacam ikatan dinas
  • Memanfaatkan tenaga yang sudah ada di lingkungan perawatan gedung. Ini bisa lebih efisien. Karena ada saja orang yang berkemampuan namun tidak diketahui pelanggan. Ada orang berkemampuan, tapi waktu tidak dapat dijadwalkan. Disinilah dibutuhkan kolaborasi dan saling tukar informasi. Saling terbuka jasanya. Misal jika si A yang dapat order dan dibagi/mengajak tim lainnya, maka si A mendapat tambahan 5% dari fee yang dipotong dari fee rekan yang lain.
  • Menggunakan sistem. Dibuat data based tukang perawatan gedung. Di dalamnya berisi nama, alamat, nomor telpon dan skill yang telah dimiliki. Tarif bisa menggunakan sistem management fee atau marketing fee. Atau bisa juga, jualan jasa diproposalkan oleh pemilik sistem, yang terpenting tukang mendapatkan haknya sesuai dengan keahlian dan persyaratan yang umum.

Jualan jasa sangat bergantung kepada individu. Karena pijakan awal adalah kepercayaan. Ini yang menjadi kunci, sehingga kepercayaan harus pula dibangun dan ditanamkan kepada seluruh anggota tim.

Risiko terbesar usaha jasa adalah ketika satu diantara anggota tim melakukan hal yang merusak kepercayaan. Mengecewakan pelanggan. Bisnis bisa tutup. Karena biasanya merembet juga kepada nama individu termasuk pemilik usaha.

Karena nila setiti, rusak susu sebelanga.

Namun, sebaliknya, jika kepercayaan itu dijaga bahkan pelanggan puas. Tidak jarang akan menjadi pemasar gratis. Meluas dengan tidak disengaja, karena bukan kita sebagai pemasarnya, tapi pelanggan. Referral marketing.

 

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.

Mengurangi Produk Cacat

Mengurangi Produk Cacat

.

Saat memulai usaha, tak jarang orang melakukan uji coba. Memadukan beberapa bahan dijadikan satu olahan. Tak jarang pula, tidak sesuai harapan kita sebagai pengolah. Belum lagi, kalau menurut sang pengolah sudah mantap, tapi menurut konsumen kurang oke. Buktinya, pelanggan tidak pesan kembali. Repeat order adalah satu satu tanda/indicator, jika produk tersebut bermutu, sesuai kebutuhan pembeli.

Kalau uji coba terus bisa rugi? Betul. Definisi produk cacat dari Peneliti Teknik Industri di beberapa perguruan tinggi adalah produk yang gagal memenuhi standar spesifikasi yang disyaratkan oleh pelanggan, tapi masih dapat diperbaiki dengan biaya tertentu.

Jelas produk cacat akan menambah biaya. Bagaimana menghindarinya?

Sebagai contoh pebisnis pemula untuk menjual paket rending siap makan. Bumbu rempah-rempahnya mudah diperoleh. Ada kemiri, bawang putih, bawang merah alias brambang, cabe merah besar, cabe merah keriting, jahe, lengkuas, kunyit, ketumbar, pala, jinten, dan garam, kadang ditambahkan juga gula. Bahan utama tentu saja daging sapi dan santan kelapa.

Meski rending ini dikenal sebagai makanan khas Padang atau Sumatera Barat, namun sudah melegenda nasional bahkan mendunia. Tentu saja ada aneka rasa rendang sesuai dengan kearifan local. Saya mengenal rending di Kota Malang, rasanya dominan manis dan gurih. Tentu beda dengan rending asli Padang.

Ini yang bisa dijadikan target pembeli yang akan disasar. Racikan bumbunya tentu berbeda. Lain komposisi, lain rasa. Bagaimana agar tidak banyak produk cacat?

Perlu kita cermati resep mana yang dipilih. Proses bisnisnya seperti apa? Proses bisnis ini termasuk alir proses memilih bumbu, kompisisi dan memasak bumbu hingga matang.

Apa boleh pakai bumbu instan yang banyak dijual di pasar. Tinggal ambil sachetnya, ikuti petunjuk. Boleh saja. Itu pilihan. Namun, ada risiko. Bumbu sachet adalah hasil pabrikan yang punya potensi menjadikan rending yang diolah tidak memiliki kekhasan produk rending yang kita mau atau pelanggan mau. Apalagi jika kita ingin mendapatkan keunikan dan rending yang lain daripada yang kebanyakan.

Bagaimana dengan bumbu giling racikan yang tren sekarang ini? Relatif mudah. Tinggal bilang sama Abang penjual bumbu giling, dia yang ambil dan langsung dimasak sesuai prosedur. Ada risiko jika langsung kita pesan bumbu racikan rending, si Abang pakai kirologi alais perkiraan saat ambil bumbu giling. Rasa bisa tidak seragam. Bisa punya potensi produk cacat.

Ada cara yang bisa dikompromikan. Kita beli bumbu giling, tapi tidai dicampur langsung jadi satu. Pencampurnya adalah kita. Disesuaikan dengan resep awal yang kita punya. Sangat dianjurkan ditimbang sesuai komposisinya. Jadi, bumbu giling dibeli secara satuan. Ketika akan meracik, kita buat tabel racikan. Berapa gram bawang putih? Bawang merah? Dst. Bisa diikuti resep-resep yang telah dimiliki atau bisa merujuk pada referensi di Mbah Google (ini ekstremnya). Ketika bumbu telah usai dimasak, sebelum santan dan potongan daging dimasukkan, bubu bisa dirasakan terlebih dulu oleh beberapa orang. Jika ada kekurangan, maka bisa dicatat dan ditambahkan. Memang ada masalah jika ada satu bumbu yang kelebihan perlu siasat lebih. Bisa juga, dikuatkan pilihan rasa sesuai keinginan konsumen yang dibidik.

Cara tersebut, dapat mengurangi produk cacat. Bagian terpenting adalah pencatatan kurang, tambah bumbu, lama proses masing-masing tahapan. Pemilihan material kemasan dan suhu saat dikemas juga tak boleh luput dari pengamatan dan pencatatan. Karena catatan ini akan menjadi proses bisnis selanjutnya. Apalagi jika produk rending sudah bisa diterima pelanggan dan siap untuk diproduksi massal.

Upaya menurunkan produk cacat, berarti menambah potensi keuntungan.

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.

Beli atau Buat Sendiri

Beli atau Buat Sendiri

 

Ada warung di dekat salah satu sekolah favorit di Pondok Aren yang berjualan dengan menu dasar tunggal. Apa itu? Mi rebus atau mi goreng. Variannya dibedakan dengan segala macam teman si mi instan. Ada telor dadar. Telur rebus. Kornet. Baso. Atau pangsit bsah dan kering.. Minumnya ada yang dingin dan panas. Teman makan juga disediakan, krupuk dan gorengan.

Warungnya laris manis. Saya pernah mencoba menikmati bersama teman-teman setelah usai sebuah acara. Saya takjub. Ternyata mi gorengnya menggunakan mi instan produksi pabrik mi di Surabaya. Bumbunya juga pakai bumbu yang sudah ada dalam kemasan. Ia tak membuat bumbu baru. Kalau kita pesan Mi Goreng Kornet, maka ia pun mengambil kornet kaleng. Dia korek pakai sendok makan dan diaduk saat mi hasil tirisan dimasukkan mangkok. Jadilah mi goreng siap santap. Kadang dia menyiapkan cabe rawit diiris sebagai penambah rasa pedas.

Minumannya juga tidak ada yang dia buat dari nol. Sang penjual menggunakan minuman sachet yang dijual lazimnya di pasar. Kalau pingin Es Mangga, dia ambil sachet dari merek terkenal itu yang dia potong dan tuangkan serbuknya ke dalam gelas. Ia memang bilang, ini bukan mangga segar.

Gorengan juga begitu. Ternyata ia tidak menggoreng sendiri. Buktinya, kami tidak melihat wajan atau percikan minyak goreng di tembok. Kedainya Nampak bersih. Setelah, kami cek. Betul. Ia memesan dari tetangganya yang memang biasanya jual gorengan. Hanya saja ia memesan dengan irisan yang khas.

Abang ini sudah berjualan 3 tahun saat, kami mampir makan sore itu. Artinya ia survive. Usahanya bertahan. Ia bisa membayar 2 karyawan yang membantunya. Ia juga tidak pernah terlambat membayar sewa kedai mungil itu.

Fenomena ini banyak kita temui. Bahan yang kita jual, memang tidak harus membuat sendiri. Bisa jadi dengan pesan atau beli dari orang lain, bisa lebih efisien. Bisa meraup untung.

Gorengan misalnya, bisa dipesan dengan harga khusus. Misal, minta dibuatkan tempe kemul (tempe diselaputi tepung dan digoreng) dengan harga Rp. 500 per bijinya. Nanti kita bisa jual lagi dengan paket mi atau memang dijual ketengan (alias per pc atau per biji). Tak jarang kita lihat, orang makan mi rebus atau mi goreng, ambil tempe goreng atau tahu gorengnya, bisa 2-5 pc sekali makan.

Kenapa mi menggunakan mi instan bukan mi basah yang diolah dulu? Nha itu, penjual memanfaatkan salah satu ciri pembeli. Pembeli inginnya mi cepat saji. Kebetulan juga, ia tak perlu mengolah atau membuat bumbu. Sudah ada dalam kemasan. Satu paket dengan bungku mis instan. Belum lagi, rasanya standar. Ini juga keuntungan sendiri. Rasa yang seragam.

Yang terpenting konsumen diberikan pemahaman bahwa yang dia jual adalah mi yang berasal dari mi instan. Bukan mi masak dadakan. Nilai tambahnya di samping dari ongkos memasak dan juga ongkos mencuci piring. Bisa diambil dari ‘teman’ nya mi. Telur, kornet, baso, atau pangsit.

Harga mi instan, Rp. 2.500,- per bungkus, setelah dimasak dan ditambah variasi, dijual Rp. 10.000, – pun masih bisa diterima konsumen. Apalagi penyajiannya menarik.

Sehingga dengan menggunakan bahan yang kita beli semua bahan setengah jadinya, juga tidak menjadi masalah. Karena dalam usaha tujuan utama adalah mendapatkan keuntungan.

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.

Tak Punya Peralatan, Masalah Buatmu?

Tak Punya Peralatan, Masalah Buatmu?

 

Tantangan awal memulai usaha adalah alat yang tidak memadai. Betul? Kalau jawaban paling banyak adalah iya, maka jangan berkecil hati. Kita bisa menggunakan alat yang ada. Kalau benar-benar tidak memiliki, maka kalau mampu kita bisa beli. Masih tidak ada dana? Silakan menggunakan cara pertemanan atau hubungan darah. Pinjam ke saudara, teman atau tetangga. Kalau di kota besar, bisa jadi pinjam peralatan masak itu tidak lazim. Tapi, jika di daerah masih dimungkinkan.

Mendiang ibu saya, punya beberapa alat masak bahkan ukuran yang sekali masak bisa untuk 25 orang. Beliau dulu memang punya kegemaran memasak. Jika ada acara di desa atau kenduri tetangga, tak jarang, rumah kami jadi tempat masak. Ibu saya bertindak sebagai kepala juru masak.

Saat itu, peralatan masak yang terbilang lengkap tersebut, sering berpindah rumah. Alias dipinjam tetangga.

“Lha kalau untuk usaha, mosok pinjam?” begitu sergah salah seorang teman yang terkena PHK tapi punya keinginan usaha kecil.

Tentu saja, itu jika terpaksa. Pinjam pun bisa ke orang terdekat yang sangat mengenal pribadi peminjam. Lebih baik, jika kita membelinya. Pemblian alat produksi ini kita sebut investasi. Ini juga dihitung dalam biaya produksi.

Sahabat saya ini, berkeinginan berjualan nasi kebuli. Maklum, dia salah satu penggemar nasi olahan khas negeri Arab. Paduan beras agak panjang, ada lemak daging, rempah-rempah, di dalamnya ada potongan daging dan kurma. Setelah berpikir panjang, ia memulai dengan menjadi perantara, menjual kembali produk salah seorang anggota komunitas penggemar nasi kebuli. Tapi, ia mempunyai formula khusus. Kemasan ia sediakan dengan isi yang ia tentukan. Acarnya pun ia buat sendiri dengan penyesuaian. Ada potongan nanas muda, acar timur dan acar wortel. Ini cara cerdasnya. Kemasan nasi kebuli yang berbebtuk tampah untuk 4-6 orang. Ia ubah menjadi kemasan 1 porsi 1 kotak.

Setelah beberapa kali ia mendapatkan pelanggan dan mulai mendapatkan repeat order, ia memulai membuat mandiri. Memang masih dengan peraltan yang ada, menanak nasinya menggunakan rice cooker biasa. Rasa memang ia sadari, agak berbeda. Tapi potongan daging baik ayam, kambing, maupun sapinya ia olah sedemikian agar empuknya juga sama dengan proses pemasakah yang ditungku. Ia puny acara sendiri dengan menggunakan panci yang ada di rumah.

Peralatan bisa juga dimodifikasi dengan kapasitas yang kita rencanakan. Boleh saja membeli peralatan baru yang sesuai. Tapi tidak ada salahnya memanfaatkan yang kita punya.

Kapan kita harus investasi membeli peraltan yang sesuai? Tentu saja, ketika kapasitas produksi dengan peralatan yang ada sudah sangat tidak memadai dan menjadi tidak efisien.

Sebagai contoh penanak nasi dengan kapasitas 2 liter beras. Hasilnya setara 16 porsi nasi. Ketika mendapat order  30 porsi, menanak 2x masih bisa dikompromi. Waktu tunggu 30 menit, sekali tanak. Jika pesanan sudah 50 porsi, maka perlu dipikirkan membeli rice cooker yang lebih besar. Kenapa? Agar waktu tunggu tidak terlalu lama. Pelanggan tentunya mengingkan pesanan yang tidak terlalu lama. Maunya pesan, langsung ada dihadapan. Apalagi jika pesanan harus dikirim dengan fasilitas kendaraan. Butuh waktu lebih lama. Pembeli sudah ngeces alias ngiler dan tidak boleh dibairkan menunggu lama. Punya potensi, pelanggan pergi ke lapak lain, karena waktu saji yang terlampau lama. Itulah kenapa, menunggu adalah satu pemborosan. Pemborosan mengurangi keuntungan.

Jadi, mari mempertimbahkan peralatan produksi dengan seksama, agar bisa menambah profit.

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.