Proses Bisnis, Apa Lagi Itu?

Proses Bisnis, Apa Lagi Itu?

 

Produk dengan kualitas konsisten itu salah satu harapan pelanggan. Bahkan, kadang dijumpai, pembeli tidak peduli dengan kenaikan harga ketika kualitas bisa kita jaga. Jika makanan, maka ‘rasa’ jadi kunci.

“Duh, kok rasanya beda dengan orderan kemarin?”, begitu bunyi WA yang masuk ke produsen.

Sang peracik makanan bisa dipastikan garuk-garuk kepala. Betap tidak, ia merasa sudah memasukkan bumbu dan aliran proses sama saja seperti hari berikutnya.

Kenapa bisa terjadi? Kadang ada yang dilupakan, tidak jarang orang mengandalkan ingatan. Boleh saja, tapi harus diakui, ingatan pun bisa pudar bahkan hilang. Belum lagi, ketika waktu tidak memadai dan membutuhkan orang lian, apa yang dibenak kita dan ditylarkan kepada orang lain bisa berubah. Itulah pentingnya proses bisnis.

“Walah, ini kan usaha masih kecil-kecilan, nggak perlu proses bisnis segala”, begitu alasan yang banyak didengar.

Kita harus berpikir bahwa otak kita ada batasnya. Belum lagi, kalau kapasitas membesar, kita butuh asisten. Kalau seudah begitu, kita membutuhkan semua tangan memiliki kemampuan yang relatif sama.

Proses bisnis itu sederhana. Membuat minuman kopi misalnya:

Beli biji kopi > disangrai > digiling > ditimbang > dimasukkan gelas > ditambah air panas > diaduk > disajikan.

Aliran proses tersebut ditulis. Ini kuncinya. Ditambahkan lagi. Keterangan tambahan pada tiap proses, misalnya lagi:

  • Saat membeli biji kopi (berapa % robusta, berapa % Arabica)
  • Proses sangria: disangrai dengan proses (api seberapa besar, berapa lama).
  • Penggilingan: dilakukan hingga menghasilkan butiran seberapa besar?
  • Satu sajian membutuhkan berat berapa gram kopi bubuk?.
  • Air yang diseduh, setelah mendidih ditunggu pada suhu berapa agar siap dituang dan rasa tidak berubah. Berapa mili untuk 1 sajian.
  • Proses pengadukan, apakah searah jarum jam, atau berlawanan arah jarum jam.

Itulah proses bisnis dan yang lebih penting dituliskan. Bisa di dalam buku tulis biasa. Atau dicetak dan delaminating. Yang penting saat siapa saja yang ditugaskan menyeduh kopi, melihat proses bisnis tersebut.

Idem ditto seperti meracik makanan yang lebih komplek. Bumbu yang dibutuhkan bisa belasan. Urutan proses akan sangat memperngaruhi rasa. Kadang, ada yang berpikir, lupa satu empon-empon, kemudian disusulkan pada akhir proses. Rasa bisa jadi berubah.

Proses bisnis yang ditulis akan memberikan rasa aman baik bagi pengolah atau yang ditugaskan memasak. Dan tentunya bagi pelanggan. Karena tidak ada lagi ilmu kirologi alias kiro-kiro (baca : kira-kira). Seperti apa itu? Ambil garam secukupnya dan taburkan saat air mendidih. Nha, kata ‘secukupnya’ ini sangat berbeda persepsi. Bagi seorang chef yang setiap hari melakukan mengolah makanan, bisa menggunakan jimpitan jarinya. Tapi bagi pemula, bisa jadi jimpitannya kebanyakan alias berlebih atau sebaliknya, kurang. Oleh karenanya, perlu ditulis, misal: 5 gram untuk 1 takar sajian.

Apalagi ketika membutuhkan asisten untuk mengolahnya, pembagiannya pun perlu ditulis. Si A melakukan proses apa hingga apa. Begitu juga si B dan seterusnya.

Namun, setelah proses bisnis ditulis. Harus dijaga kerahasiaannya. Karena ini salah satu rahasia dapur. Olahan resep yang bisa jadi menjadi master piece alias karya andalan sang produsen.

Proses bisnis itu bisa menjadi kunci keberhasilan, terutama untuk menjaga konsistensi mutu produk.

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.

Aku Urus Semua

Aku Urus Semua

 

Memulai usaha memang tidak gampang. Melihat orang lain mulai jualan, nampak mudah. Apalagi ketika melihat pelanggannya berjubel. Laris manis. Pas didekati, ternyata jualan tahu goreng. Tahu pong. Dalam benak terbersit, ‘cuma tahu’, tapi yang beli rela antri. Apa susahnya: beli tahu, potong, goring, kemas. Kadang ada langsung yang mencontoh, tapi tak semudah apa yang dilihat. Memang semua hal pasti ada prosesnya. Ada jalan hingga seseorang mencapai suatu titik seperti itu. Antrian mengular.

Mari mengura dari jalur yang normal. Saat memulai usaha, semua urusan ditangani sendiri. Belanja bahan baku, persiapan, mengolah hingga pemasaran dan penjualan. Diurus sendiri semua. Apa masalah? Tidak juga. Selama masih dapat ditangani dan efisien, boleh saja.

Dini hari untuk mengolah bahan, pagi dijual, ada juga yang diantar sendiri ke pelanggan. Sorenya kulakan alias membeli bahan baku.

“Usaha saya masih kecil, apa mungkin menggunakan jasa orang lain?”

Sangat mungkin. Banyak contohnya. Tapi perlu dihitung untung ruginya. Kenapa begitu? Karena namanya usaha atau bisnis, maka semua upaya harus berujung keuntungan. Memakai jasa orang lain, bukan hal yang tabu. Dalam masa seperti ini, kolaborasi juga bisa menambah keuntungan. Ada orang yang jago produksi, tapi maaf, nggak jago jualan. Sebaliknya, ada orang, barang apa saja, kalau di tangannya, ludes terjual. Bertangan dingin.

Gambaran sederhana berjualan nasi pecel. Bumbu pecel dibuat sendiri. Racikan bumbu dapur, menyangrai kacang tanah, menumbuk dilakukan sendiri. Peyek teri dan kacang juga dibuat sendiri. Sayuran dibeli di pasar atau memetic sendiri di halaman. Misal kembang turi. Di masak sendiri. Di tata di atas nampan. Siap jualan. Menunggu pelanggan dating. Bagi orang yang baru pertama jualan, pasti menemui kesulitan. Baru dikenal. Orang lalu lalang belum menaruh perhatian. Bisa jadi ada satu dua yang mampir. Cocok. Cerita kepada yang lain. Ini seperti marketing gratis.  Orang yang menerima kisah pengalaman kita, ada yang tertarik, ada juga yang biasa saja. Jadi wajar juga, pas baru buka, dengan cara begitu, lapak jualan kita belum seramai yang ditargetkan. Kemungkinan besar butuh waktu relatif lama.

Apa mungkin usaha yang baru saya rintis, bisa ramai pembeli? Mungkin. Caranya kolaborasi. Sebagai contoh, bisa menggunakan sistem afiliasi. Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia:

afiliasi/afi·li·a·si/ n 1 pertalian sebagai anggota atau cabang; perhubungan

Itu lho, kita menggunakan jasa orang terdekat kita, pasangan, anak, keponakan, sahabat, teman satu sekolah untuk melakukan promosi usaha kita. Semacam salesman Jika kita mau jualan tahu pong, orang lain yang kita sebut afiliasi tadi kita berikan informasi produk kita. Apa keunggulannya. Bagaimana cara order nya. Sekalian membuka semacam pre-order. Kalau afiliasi kita punya 10 WAGroup, masing-masing katakanlah punya 100 anggota. Kita punya 15 orang afiliasi, maka aka ada 15.000 promosi. Artinya ada potensi, 15.000 pembeli. Jika saja kita pakai hitungan pesimis, 1% saja yang berminat membeli, maka ada 150 orang. JUmalh yang bisa dibilang lumayan buat pemula.

Ehm.. kalau begitu bisa juga dilakukan sendiri. Ada produsen yang Ketua Majelis Taklim, Ketua Pengajian Remaja Putri, Ketua Arisan, Ketua Ikatan Alumni, atau komunitas lainnya. Itu juga bisa dilakukan. Dari belanja, memasak, mengemas, dan jualan. Semua diurus sendiri. Termasuk promosi. Bisa juga. Pengantaran jarak pendek, dalam kota, bisa menggunakan jasa ojek online alias ojol. Pengiriman luar kota bisa menggunakan jasa kurir yang saat ini banyak pilihan.

Pilihan itu bisa dikaji dengan seksama. Yang terpening bagaimana produk dikenal, orang tertarik membeli, dan akhirnya menjadi pembeli dan pelanggan setia.

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.

Ganti Bahan, Buah Simalakama

Ganti Bahan, Buah Simalakama

 

Banyak persaing baru adalah tantangan. Apalagi bagi pemain bisnis skala mikro. Galibnya, siapa pun ingin menang. Paling tidak bisa bertahan. Keniscayaan. Sering dijumpai, jualan produk yang sama, setidaknya sama judul. Saus sambal, misalnya. Harganya bisa beda lumayan besar. Nama merek juga beragam. Bagi pedagang bakso, mie ayam, siomay, saus sambal semacam pasangan abadi. Jualan mereka tanpa saus sambal, pasti nggak lengkap. Bisa-bisa penjual kelabakan kalau tiba-tiba saus sambal habis. Meski pendamping, harga saus sambal juga mempengaruhi harga jual produk mereka. Mereka harus pintar memilih saus sambal sesuai dengan pasar yang disasar.

Sebantar, itu tadi lho? Kok harga saus sambal bisa beda gitu? Mari kita bahas dari kacamata pembuat saus sambal. Sisi produsen. Kita cermati bahan baku saus sambal hasil produksinya. Dimana kita melihatnya? Pada kemasan, baik sachet, botol, atau kemasan pouch. Pasti ada. Kalau tidak ada, seharusnya tidak boleh beredar oleh pemerintah. Ada kolom yang bertuliskan: “Komposisi” atau “Ingredient”.

Sekarang coba dijejerkan beberapa merek saus sambal. Jika sudah, yuk dicari kata kunci: “komposisi”. Bagaimana sudah ketemu? Betul. Selain beriis air, agram, dll. Ada yang perlu kita focus. Tulisan CABE. Ada yang mencantumkan cabe 16%, 20%, 25% ada pula 30%. Ada bahan lain yang menarik: pengental nabati, ada yang tertulis pati termodifikasi, atau pati tapioca. Bahan ini punya fungsi yang sama untuk memberikan kekentalan si saus sambal. Mari dicek bahan lain: penguat rasa (alias micin atau vetsin). Menarik bukan?

Mari kita bedah satu persatu. Cabe menurut Kementrian Pertanian, dibagi dalam 3 jenis besar; cabe besar, cabe rawit dan cabe hibrida. Ada pendapat ahli yang menyatakan dan memasukkan cabe hibrida ke dalam golongan cabe besar. Pernah dengar cabe rawit keriting? Ya, itu masuk golongan cabe besar. Panjangnya sekitar 6-8 cm. Harga pada kondisi normal antara Rp. 48ribu-78ribu per kg.

Sedangkan cabe rawit ukurannya antara 2-4 cm. Kecil mungil. Ada yang berwarna hijau, kuning, oranye, atau merah. Tentu saja cabe rawit ini relatif lebih pedas dari cabe besar. Harga pada situasi normal, tidak ada cuaca ekstrim atau bencana lain, pada kisaran: Rp. 60ribu-100ribu. Pada kondisi normal, range harga tentu saja dipengaruhi jumlah yang dibeli dan tingkat kesegaran cabe (freshness). Lebih banyak, lebih murah, itu juga lumrah.

Terus apa hubungannya dengan bahan tadi? Ini menariknya, produsen menyatakan dalam komposisinya adalah CABE. Di samping karena jumlah cabe dalam satu adonan memang berbeda, ada juga perpaduan cabenya. Sang pembuatm tidak spesifik memberikan pembeda, cabe keriting atau cabe rawit. Perpaduan ini juga menjadi kunci harga. Ini juga rahasia produsen. Mereka akan melakukan kombinasi. Harusnya, semuanya cabe dan bumbu, namanya saus sambal. Kalau semua saus isinya cabe, harganya bisa melangit. Tinggi banget.

Lha terus bagaimana agar tetap kental? Oleh karenanya, ditambah pati tapioka. Dikenal juga tepung aci atau tepung kanji. Produsen mengganti sebagian besar cabe dengan tepung ini. Cabe kan warnanya merah. Tepung warnanya putih. Putihnya kebanyakan, warnanya kok tetap merah kayak cabe. Tentu saja agar warna tetap merah, ada tambahan pewarna makanan. Ada penguat rasa agar tetap nyos.

Ganti bahan memang bisa untuk memangkas biaya. Kalau kita cek di pasar, tepung tapioka harganya Rp. 12ribu-25ribu per kg. Lagi-lagi harag pada saat situasi normal. Perbedaan harga biasanya karena jumlah pembelian dan mutunya. Bandingkan dengan harga 1 kg cabe. Lumayan besar bukan?

Ganti bahan memang bisa menurunkan mutu. Jika kita bisa menyiasatinya dengan baik, maka mutu saus sambal tetap dapat dijaga. Mari kita ingat, bahwa mutu itu suatu kriteria yang sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Maksudnya, ketika memang dibutuhkan penjual sioamy misalnya, saus sambal yang sesuai harga jual produk yang didukungnya tidak terlalu mahal, maka saus sambal dengan cabe 16% juga bermutu. Ganti bahan memang seperti buah simalakama. Ada pilihan sulit, dengan kosekuensi yang sama berat, tapi harus dipilih.

Nha, sekarang sudah bisa menjawab, kenapa harga saus sambal berbeda pada mereka yang berbeda?

Silakan disesuaikan dengan strategi penetapan harga jual produk kepada pelanggan. Tentu saja juga disesuaikan dengan pasar yang dibidik.

 

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.

 

Kenapa Harus Beli Produk Saya?

 

Kenapa Harus Beli Produk Saya?

 

Masa seperti sekarang ini, jamu gendong pun punya saingan. Ada beraneka ragam jamu dijual secara daring. Kemasannya juga ciamik. Kesan pertema bgitu menggoda. Dipandang saja sudah menggiurkan, apalagi rasanya. Belum lagi, kemasan dalam bentuk botol. Memudahkan saat ingin menikmatinya. Nggak pakai repot. Kocok, buka tutupnya, langsung tenggak. Suegeer. Ketemu langsung dengan penjual jamu menjadi prioritas nomor sekian. Itu ilustrasi untuk menggambarkan betapa persaingan pun sudah begitu terbuka. Bahkan pendatang baru terasa lebih bersahabat, inovatif, dan lebih menarik perhatian. Kondisi itu juga dirasakan oleh seluruh pengusaha skala mikro yang berhubungan dengan memanjakan perut.

“Lha, terus.. apa dong yang membuat pelanggan tetap suka sama produk saya. Mereka tetap mau membeli produk saya?” banyak pertanyaan serupa seperti itu.

Ada yang reaktif. Langsung meniru apa yang dilakukan pendatang baru. Tapi tak lama, dia pun nyonyor bin dlosor. Kelimpungan dan akhirnya tak bisa bertahan. Padahal kalau soal rasa. Jamu racikannya banyak dipuji orang.

Coba cek lagi apa sebenarnya apa yang dibutuhkan pelanggan. Biasanya tak jauh dari harga dan kepraktisan. Apalagi kondisi seperti ini, harga miring alias lebih murah bisa jadi pilihan utama. Meski kemasan juga menjadi daya tarik. Ada juga pembeli kecele.

“Rasa beda jauh. Keren di tampang doang”, kata beberapa orang yang kecele.

Tampang itu maksudnya, kemasan. Hasil curi dengar, pernah ada lontaran dari penikmat jamu saat ada produk baru. Mereka bergumam, sebenarnya ini jamu atau sirup. Muaniis pool. Jadi sebenarnya pelanggan meminta rasa jamu yang khas, komposisi pas, dan tentunya harga terjangkau. Nggak gampang memang. Kalau semua sudah pas, tentu menambahkan kebutuhan pelanggan. Kepraktisan. Menambah kemasan botolnya.

Jadi pelanggan setia selama ini karena rasa dan komposisi, kita tambah kemasan yang memudahkan mereka. Memang ada tambahan botol plastik, seakan-akan bisa ada tambahan biaya. Sehingga mempengaruhi harga jual. Perlu siasat khusus agar pelanggan tidak berpaling karena penambahan harga.

Begini salah satu caranya, harga jual dibuat tetap. Lho, kan bisa menurunkan keuntungan? Bisa merugi? Belum tentu. Bisa menggunakan strategi volume.

Jamu gendong dijajakan berkeliling. Ada yang benar-benar digendong. Ada juga yang pakai gerobak dorong.

  • Harga jual per gelas (perkiraan isi : 180 ml) : 3.000
  • Harga botol plastik 260 ml + label : 1.000.
  • Jamu yang dimasukkan botol, 240 ml : 4.000.

Jika harga ke konsumen (belum termasuk ongkos kirim) adalah 5.000, maka harga jamu ‘kelihatan’ naik. Namun, itu sama. Volume atau isi jamu yang ditambah. Nha, terus untungnya dimana? Tetap dari jamunya, masih sama dengan keuntungan sebelumnya. Jika dari komponen jamu sebelumnya bisa untung 20%, maka pas jualan dalam gelas, untung 600. Ketika pindah ke botol, untung 800. Itu istilahnya profit margin. Jadi kelihatan lebih untung jualan dalam botol, tapi sebenarnya tetap.

Apa ada potensi keuntungan lain? Ada, dari pembelian botol plastik. Bagaimana caranya? Misal 1 hari ditargetkan 100 botol, maka bisa juga pembelian dilakukan dengan perjanjian. Pembuat jamu bisa membicarakan dengan sang penjual botol, kalau beli banyak dapat diskon berapa? Lho, banyak itu berapa? Kok beli banyak, bukannya sehari cuma 100 pcs. Betul, kita buat peramalan berdasarkan data, jualan jamu optimis selama 6 bulan misalnya. Sebulan butuh, 3.000 botol.  Berarti. 6 bulan, butuh 18.000 botol. Jika beli sebanyak itu, berapa dapat potongan harga? Pengiriman misal setiap 5 hari, dikirim 500 pcs. Jika sepakat dan mendapat potongan harga, katakanlah Rp. 50,-, maka angka itu menjadi keuntungan tambahan. Tadinya, untung Rp. 800,- per botol menjadi Rp. 850,- per botol dalam kemasan. Itu setara dengan 17,5%. Penghasilan bersih per bulan bisa Rp. 2,6 juta. Angka yang patut disyukuri.

Gambaran ini perlu dihitung lebih rinci sehingga mendapatkan angka atau harga jual yang pas. Karena situasi kondisi di setiap daerah tentunya berbeda.

Dengan upaya itu, harapannya, usaha tetap jalan. Adaptif. Dan yang lebih penting adalah produk tetap bisa menjadi pilihan dengan cita rasa dan khasiat yang sama, namun dengan kemasan yang praktis.

Kocok, buka, dan mak glek.

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.

.

Aku Harus Bagaimana?

Aku Harus Bagaimana?

 

Pendemi Covid19 mengagetkan banyak pihak. Tak terkecuali pelaku bisnis skala mikro. Usaha mikro ini bagian dari UMKM yang selama ini kita kenal. Ehm..bagaimana menggolongkan sebuah bisnis itu masuk skala mikro? Menurut beberapa ahli, sebuah usaha disebut mikro, jika omzet atau hasil penjualannya menthok di Rp. 50 juta per bulan. Tak jarang usaha ini dijalankan oleh 1 hingga 5 orang, biasanya anggota keluarga sendiri. Administrasi keuangan juga tidak dilakukan dengan baik dan tertulis. Acapkali, keuangan pun bercampur antara uang usaha dengan harta kekayaan yang dimilikinya.

Pandemi ini mengharuskan banyak orang mengubah cara belanja. Biasanya bisa langsung ke pasar. Tawar menawar di tempat. Bagi beberapa orang interaksi yang mengasyikkan bahkan semacam pembuktian. Ada negosiator ulung. Bagi yang buru-buru dan tidak pandai menawar, ingin kepastian. Ia meluncur ke supermarket sembari sedikit ngadem. Harga pas bandrol.

Situasi beberapa bulan ini jadi pembeda, pembeli bisa belanja lewat aplikasi. Paling banter kalau pun ada komunikasi lewat udara juga. Tak perlu tatap muka secara fisik. Transaksi daring, dalam jaringan atau on-line. Harga tetap, tak ada ruang negosiasi. Kalau pun ada fasilitas, seperti potongan harga, ongkos kirim gratis, itu semua diset-up oleh penjual. Pasrah bongkokan.

Belum lagi, pandemi membawa dampak tak kalah dahsyat. Banyak karyawan yang menjadi pedagang dadakan. Ada karyawan yang mulai ancang-ancang, bersiap diri. Mengantisipasi kondisi terburuk datang. Apalagi bekerja dari rumah memberikan banyak waktu yang bisa diatur secara mandiri. Tak jarang meski masih memegang posisi tertentu, mulai menekuni hobinya. Biasanya untuk dikonsumsi atau dinikmati sendiri. Kali ini mulai dijual. Suka masak, mulai meracik menu dan jadi olahan. Punya kegemaran kerajinan tangan, mengutak-atik sesuatu untuk bisa menghasilkan uang tambahan. Parahnya, ada yang terpaksa jadi pedagang, karena terkena PHK. Melamar ke perusahaan lain tak kunjung dapat panggilan. Padahal, dapur harus terus ngebul. Segala upaya dilakukan. Apa pun dilakukan menjual dan juga menjual barang. Awalnya untuk kalangan terbatas. Konsumen yang dibidik bisa di sekitar rumah atau teman dekat.  Penawaran melalui whatsapp grup. Tak ayal, komunikasi serius atau begejekan alias candaan, tak jarang diselingi postingan penawaran barang dan jasa. Ada yang terganggu, tak jarang memaklumi. Admin pun harus membuat aturan-aturan baru, Memang kita memasuki dunia baru.

Kondisi ini juga, di satu sisi membawa keuntungan. Selalu ada kebaikan di setiap kejadian. Allah SWT, Tuhan Maha Adil. Kali ini, pelaku usaha tak perlu repot lagi menyewa tempat usaha. Ia bisa berjualan dari rumah, kapan pun ia mau. Bisa  buat dan langsung jualan. Tak ada jeda pengurusan sewa atau bahkan beli ruko atau lapak di pasar/mall. Tak perlu lagi menjajakan dagangannya ke toko. Istilah kerennya, product listing. Biaya promosi juga relatif lebih rendah. Tak perlu mencetak dan menempelkan media promosi. Cukup daring.

Dengan segala hiruk pikuk itu, pengusaha mikro juga kelabakan. Bagaimana tidak? Ia juga harus mengubah cara berdagang. Mereka belum siap. Tergopoh-gopoh. Panik bagaimana kulakan alias membeli bahan baku. Banyak pasar yang jam operasinya dibatasi. Pedagang di pasar juga banyak yang memilih menutup lapak untuk sementara. Kalau pun dapat barang, menggunakan kontak telpon. Belum lagi, menjual pun tak bisa menjajakan langsung. Mereka mulai menjual secara daring. Tak gampang. Masih asing. Tapi tantangan di depan, mata, disadari atau tidak jumlah pedagang bertambah. Pedadang Dadakan Dampak Pandemi bermunculan. Banyak banget.

“Aku harus bagaimana?” Pertanyaan ini sering menggelayut pengusaha mikro hingga kini.

Wajar. Masa pendemi tak bisa diduga durasinya. Bulan-bulan ini pun masih saja meningkat jumlah penderitanya. Sedih. Karena dampaknya bisa lebih parah. Termasuk sector ekonomi.

Tentu saja, ada jawaban yang sangat klasik. Klasik tapi manjur. Harus tetap usaha. Karena kalau berhenti berarti mematikan pemasukan. Pasti itu. Bukankah jika usaha diteruskan, kalau kembang kempis alias tersendat, lama-lama bisa mati juga? Tidak salah anggapan itu. Tapi harus diingat, kalau berhenti, langsung mati. Nah, jika diteruskan masih ada peluang hidup. Potensi untuk tetap eksis bahkan berkembang. Tentu saja, kita harus menyesuaikan dengan kondisi. Adaptif. Tak bisa lagi berdagang dengan cara yang sama. Perlu perubahan.

Gusti Allah sudah berjanji dalam Surat Al-Insyirah ayat 6:

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

Yuk, terus berupaya, adaptif dan berdoa. Tak ada kata menyerah. Selalu ada kebaikan pada setiap kondisi yang menurut kita, sangat buruk sekalipun.

 

#costoptimizer #usahamikromaju #sidomakmur #rakyatsejahtera #indonesiamaju

___Ari Wijaya @this.is.ariway | 08111661766 | Grounded Coach Pengusaha Mikro Indonesia.

 

Yayasan Itu Bisnis?

“Saya ini ngurusi yayasan, nggak punya bisnis. Tidak cari untung. Apa cocok pelatihan itu untuk kami?”

Pertanyaan itu pernah dilontarkan kepada saya oleh seorang ibu muda yang diserahi orang tuanya mengurus sekolah di bawah yayasan keluarganya. Memang topiknya ada kata bisnisnya. Kala itu, saya membawakan materi bagaimana melakukan penghematan dengan perubahan proses bisnis.

Bisnis secara leterlek (bahasa Belanda : letterlijk) punya makna usaha komersial dalam dunia perdagangan atau bidang usaha atau usaha dagang. Namun bisnis secara umum bisa juga diartikan urusan.

Naah… segala urusan itu ada prosesnya. Benar apa betul? Ada yang tertulis ada yang belum ditulis dalam sebuah sistem. Itu yang disebut proses bisnis. Kenapa begitu? Ya, karena tetap ada pemasoknya alias vendornya. Proses juga dijalankan, dalam kasus tersebut belajar mengajar. Tentu saja, ada pelanggannya, bukan?

Yayasan atau organisasi sosial memang tidak berorientasi profit. Tapi tetap perlu juga eksis. Ada lho organisasi sosial yang berumur panjang. Artinya dia membawa manfaat secara luas, baik cakupan wilayah maupun jumlah orang yang menerima manfaaat. Agar masyarakat dan institusi yang menitipkan dana infaq atau bantuan, tetap dapat terbantu penyalurannya. Tentunya, jika dikelola dengan baik, maka manfaat yang dihasilkan jauh lebih banyak.

Mau yayasan tetap eksis? Mau tahu lebih dalam?
Mari ikut bergabung kelas on-line dengan klik: http://bit.ly/bisnistangguh

Wassalaam. Sampai jumpa.

Zonk?

“Coach, saya nggak punya produk buatan sendiri. Jualan saya tergantung dari produk orang lain. Kadang barangnya ada, kadang kosong. Bagaimana saya bisa meningkatkan penjualan?”

Ada sahabat yang mengalami hal yang sama? Pertanyaan serupa? Pas banyak order, ternyata barang kosong. Sudah dapat omelan pelanggan, penjualan turun drastis. Boro-boro untung, malah buntung. Kenapa buntung? Reptutasi kita nyungsep. Zonk!

Allah Tuhan Maha Adil. Ada yang jago produksi, tapi nggak piawai pemasaran dan penjualan. Begitu pula sebaliknya Jadi kalau berniaga tapi bukan produk hasil karya sendiri, juga sah. Bisa dikatakan sesuai istilah tren, drop shipper. Model bisnis yang saling menguntungkan. Yang penting pembeli puas. Apa sih kepuasan pembeli? Lazimnya, dapat barang bagus dan harga sesuai kantong alias budget. Secara umum dikatakan, bagus dan murah.

Kepuasan pembeli atau pelanggan ini saja yang jadi fokus para penjual.

Harga itu bisa disebabkan karena biaya produksi, biaya pendukung seperti biaya pengiriman,  dan juga biaya administrasi. Source atau sumber barang boleh kita peroleh dari mana saja. Itu harus, upaya meminimalkan kekosongan stok. Tapi harga yang diterima pelanggan setidaknya mirip. Jangan njomplang. Biaya produksi agak susah dikontrol, tapi biaya lain bisa kita kendalikan. Inilah faktor kunci pembeda dari yang lain. Kalau nggak kompetitif, bisa nggak ada repeat order. Jika sudah begitu, nggak ada pemasukan, tho? Bisnis  bisa zonk.

Nggak mau ikutan zonk ? Bagaimana caranya?

Silakan sahabat bisa mengikuti event on-line dengan klik link ini:
http://bit.ly/bisnistangguh

Terima kasih. Sampai jumpa.